New Beginnings
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

New Beginnings - Chapter 07

Go down

New Beginnings - Chapter 07 Empty New Beginnings - Chapter 07

Post  didar 11th July 2009, 10:06 am

“Kau ingin duduk di mana?” tanya Peyton ke arah Jensen setelah mereka melangkah cukup jauh di dalam taman itu. Peyton menyadari bahwa tinggi pria itu tidak berbeda terlalu jauh darinya dan ia dapat dengan nyaman berbicara dengannya tanpa harus mendongakkan kepalanya. Jensen memandang sekelilingnya dengan cepat, tubuhnya berputar mengikuti arah pandangnya. Tangannya kemudian menunjuk ke satu arah, ke arah bangku yang letaknya tak jauh dari kolam.

“Pilihan yang bagus,” ujar peyton setelah melihat bangku yang dimaksud Jensen. Taman kota selalu dipenuhi orang pada saat akhir minggu. Tak terkecuali hari itu. keluarga-keluarga datang untuk piknik sambil menikmati kebersamaan, pasangan-pasangan yang sedang dimabuk kepayang datang berduaan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemesraan mereka.

Peyton menempatkan tubuhnya di atas bangku kayu yang tersedia. Ia menarik napas dalam-dalam, meluangkan waktu untuk sejenak menikmati suasana di taman itu lalu menoleh ke samping, kepada Jensen yang duduk di sampingnya. Jensen mengeluarkan begel dari dalam kantong yang dibawanya dan menyodorkannya kepadanya. Peyton menggelengkan kepalanya, tapi Jensen terus menyodorkannya, tidak mau menerima kata tidak. Peyton tertawa dan mengambil begel itu.

“Jadi apa yang kaulakukan di kota ini? Mengapa kau pindah dari texas?” Peyton membuka belahan begel dan memegang masing-masing potongan di kedua tangannya. Beginilah cara ia menikmati begel, makanan yang segera menjadi kegemarannya setelah ia tiba di NY.

“Aku datang mengurus pembuatan pabrik anggur,” Jensen mengurungkan niatnya untuk menggigit lebar-lebar begelnya. Peyton tersenyum melihatnya. Baginya itu lagi-lagi membuktikan bahwa pria itu memang selalu apa adanya, tak berusaha menyembunyikan apapun hanya karena ingin terlihat cool.

“Apa kau pemilik perkebunan anggur?” Peyton mengunyah begelnya.

“Bukan, kakekku adalah pemiliknya,” Jensen mengunyah begelnya.

“Ohh,” sahut Peyton sambil memperhatikan Jensen menghabiskan begel itu dalam 2 gigitan berikutnya.

“Dan kau?” tanya Jensen saat mulutnya sudah selesai mengunyah.

“Aku? Aku datang untuk belajar melukis. Aku ingin memulai karir sebagai pelukis,”

Jensen menatapnya dan terdiam sejenak di matanya, seakan mencoba membayangkannya sebagai pelukis.
“Kau pasti berhasil,” ujarnya dengan pandangan tulus. Jensen mengambil begelnya yang kedua dan melipat bungkusnya. Ia lalu menyodorkannya ke arah Peyton. Peyton menggelengkan kepalanya, mengangkat sepotong begel yang masih setengah utuh di tangannya.

“Terimakasih, kau juga pasti berhasil,” ujar peyton tulus. Mereka pun melanjutkkan sarapannya. Peyton melirik ke arah Jensen yang menggigit begelnya lebar-lebar. Sama seperti sebelumnya, begel itu habis dalam 3 kali gigit. Peyton menelan potongan begel di mulutnya cepat-cepat.

“Aku akan belikan kau sesuatu,” Peyton bangkit dari kursinya sambil memegang tasnya. “Tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” lanjutnya lagi sambil tersenyum manis.

Jensen cepat-cepat berdiri.“Sebaiknya aku saja yang membeli,” tukasnya cepat.

Peyton menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu, aku saja. Anggap saja aku menraktirmu setelah mengambil jatah sarapanmu tadi.”

“Duduklah,” ujarnya lagi dengan nada mendesak. Jensen akhirnya menyerah dan duduk kembali. Peyton tersenyum dan berjalan mundur sambil berkata,”Duduklah baik-baik, jangan menghilang.” Jensen tertawa kecil lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Peyton tersenyum puas melihat Jensen duduk nyaman di tempatnya. Ia membalikkan badannya dan berjalan mengikuti jalan yang sudah cukup familiar baginya. Tak memakan waktu lama baginya untuk menemukan daerah di mana kios-kios makanan berjejer dengan rapi.

Peyton mempercepat langkahnya, matanya mencari-cari sebuah kios. Akhirnya ia menemukan kios yang dicarinya. Sebuah kios dengan warna merah menyala, tulisan Gino’s Sandwich terpampang jelas di atasnya.
“Kau lagi?” tanya penjual di kios itu dengan ramah saat melihat Peyton mendekat. Peyton tersenyum ramah. Ia sangat menyukai penjual kios ini, selain karena ia menyediakan sandwich terenak yang pernah dicobanya, ia juga seorang pria yang sangat ramah.

“Yah, seperti biasa. Kali ini 3 sandwich dan berikan juga jus oren dan jus mangga,” sahut Peyton.

“Kau datang bersama pacarmu, ya kan?” ujar pria itu dengan nada yakin.

Peyton kaget mendengarnya. Ia pun tertawa saat pria itu berhenti membuat sandwich dan melipat tangannya seakan menunggu jawabannya.

“Tidak, aku datang bersama teman,” jawabnya dengan sopan.

“Pria kan?” pria itu melemparkan tatapan menggoda.

Peyton tersenyum melihat tatapan pemilik kios itu. “Iya, tapi ia bukan pacarku,” sahutnya dengan jujur.

“Wanita secantik dirimu pasti sudah punya pacar, aku pun akan mendaftar kalau saja aku berani menceraikan istriku saat ini,” ujar pria itu lagi sambil tertawa.

Peyton hanya tersenyum mendengarnya. “Kau terlalu baik untuk melakukan hal itu.” timpalnya kemudian dengan manis

“Darimana kau tahu aku terlalu baik untuk itu?” tanya pria itu tergelak, seakan tidak percaya gadis itu berpendapat jujur kepadanya.

“Karena cinta yang terpancar di matamu, saat kau menyebut istrimu tadi,” Peyton bersungguh-sungguh dengan perkataan itu. Sinar mata pria itu mengingatkannya pada sinar mata Jake saat pria itu mengucapkan kata cinta untuknya.

Pria itu kembali tergelak. Ia kemudian memandang Peyton dengan tatapan lebih serius dari sebelumnya. ”Aku sudah menikah dengan istriku selama 30 tahun, dan oleh karena itu aku harus meminta maaf kepadanya karena aku menggodamu tadi,” ujarnya sambil memberikan 3 potong sandwich kepada Peyton.

Peyton tertawa dan memberikan pandangan tulus kepada pria tua itu,”Aku yakin kau tidak tulus dengan godaanmu tadi.”

“Mana mungkin aku tidak tulus?’’ ujar pria itu cepat. “Pujianku terhadapmu tadi tulus setulus-tulusnya,” tambahnya lagi sambil terkekeh.

Peyton sekali lagi tertawa.

“Terutama saat kau tertawa seperti itu, pernahkah ada yang mengatakan bahwa tawamu membuatmu terlihat sangat cantik?” tambahnya lagi seakan belum puas memujinya. Ia menyodorkan kedua gelas jus kepada Peyton yang dengan segera menyodorkan selembar uang kepadanya.

Peyton menggangguk, ”Seorang pria pernah mengatakannya kepadaku.”

Pria itu lagi-lagi tergelak. “Berarti pria itu adalah pria yang jatuh ke dalam pesonamu,” katanya dengan yakin.
Peyton mengangguk sambil tergelak,”Bisa dikatakan memang demikian.”

“Pria itu punya selera yang baik,” ucapnya dengan tulus sambil memberikan uang kembalian kepada Peyton.
Peyton menerimanya dan tersenyum ramah kepada pria itu. Ia lalu pamit dan meninggalkan kios itu dengan hati yang mulai terasa gundah. Percakapannya dengan pria itu membuatnya kembali bertanya-tanya akan status hubungannya dengan Jake saat ini. Kekosongan komunikasi di antara mereka selama 2 bulan ini seakan menjadi tanda bahwa cintanya dan Jake sudah memudar. Ia tidak yakin dengan perasaannya bagi Jake saat ini, tapi ia cukup yakin cinta Jake padanya sudah memudar. Hanya itulah satu-satunya alasan yang masuk akal mengapa pria itu menghindar darinya selama itu. Dua bulan adalah waktu yang lama untuk membiarkan hubungan mereka tak jelas arahnya. Dan ia tak mengerti mengapa Jake tega melakukan hal itu padanya.
***


Last edited by didar on 19th July 2009, 2:32 pm; edited 3 times in total
didar
didar
FF super addicted
FF super addicted

Posts : 255
Join date : 2009-07-09

Back to top Go down

New Beginnings - Chapter 07 Empty New Beginnings - Chapter 7b

Post  didar 11th July 2009, 10:08 am

Peyton berjalan ke arah Jensen seraya sedikit kewalahan memegangi sandwich dan jus di kedua tangannya. Ia hampir saja menjatuhkan kedua gelas jus yang dipegangnya saat seorang anak laki-laki yang sedang bermain skateboard menyenggolnya cukup keras. Jensen yang sedang berjalan ke arahnya segera berlari ke menghampirinya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya setelah ia tiba di depannya. Peyton mengganggukkan kepalanya. Jensen mengambil ketiga buah sandwich itu dari tangan Peyton dan memegangnya dengan mantap di sebelah tangannya. Ia kemudian menjulurkan tangannya yang lain untuk mengambil kedua gelas jus dari tangan Peyton.
“Tidak usah,” Peyton menolaknya sambil tertawa. Jensen bersikeras mengambil kedua gelas jus itu. Peyton menyerahkannya dengan terpaksa.

“Aku tidak tanggung kalau kedua gelas jus itu jatuh,” ancamnya dengan nada bercanda.

“Tidak apa, akan aku belikan lagi,” jawab Jensen sambil tersenyum.

Mereka berjalan berdampingan menuju bangku yang mereka duduki sebelumnya dan mendapati bangku itu sedang didekati oleh sepasang kakek nenek yang berada 3 langkah lebih cepat dari mereka.

Peyton menghentikan langkahnya dan menahan tangan Jensen. Ia bermaksud untuk mengalah kepada pasangan kakek nenek itu. Jensen mengerti akan maksud Peyton dan ikut menghentikan langkahnya. Nenek itu tersenyum ke arah mereka seraya membantu suaminya duduk.

“Kalian pasangan yang sangat serasi.” ujar nenek itu dengan tulus. Peyton dan Jensen refleks menggelengkan kepalanya secara bersamaan, mulut mereka sudah terbuka hendak menyanggah hal itu, tapi kemudian mereka melihat nenek itu sudah mengalihkan perhatiannya kepada kakek di sampingnya dan berbicara kepadanya sambil menunjuk ke arah mereka,”Anak-anak mereka pasti sangat rupawan.” Kakek itu memicingkan matanya untuk dapat melihat mereka dengan jelas. Ia kemudian menganggukkan kepalanya dan mengusap lembut tangan Nenek itu,”Seperti anak-anak kita.” Nenek itu tersenyum bahagia.

Jensen dan Peyton turut berbahagia melihat kebahagiaan kakek nenek itu. Rasa canggung yang tadi hampir saja melanda mereka dengan cepat menghilang setelah mereka menyaksikan semua itu.

“Aku tahu tempat yang lebih bagus,” ujar Peyton sesaat setelah mereka menyusuri taman itu tanpa arah yang pasti. Peyton memegang lengan Jensen dan menariknya dengan lembut.

Perjalanan itu berlangsung tidak terlalu jauh. Peyton berbagi tentang kegemarannya di taman ini. Tangannya masih berada di lengan Jensen dan keasyikan bercerita membuatnya tak menyadarinya. Ia menceritakan segala yang diketahuinya tentang taman itu dengan semangat. Jensen mendengarkan semuanya itu seraya berusaha menenangkan hatinya yang berdebar. Sentuhan ringan yang sebenarnya hampir tak terasa itu ternyata masih menjadi alasan yang cukup bagi jantungnya untuk berdebar kencang.

“Di sore hari, aku biasanya duduk di sekitar tempat yang sering dikunjungi anak-anak,” ujar Peyton sambil menggerakkan kepalanya, menunjuk ke arah tempat duduk kosong yang ada di hadapan mereka. Di sekitarnya anak-anak bermain dengan riang, teriakan mereka terdengar ke segala arah. Peyton mencoba berjalan lebih cepat namun tangannya tiba-tiba tertahan. Ia berbalik dan mendapati tangannya memegang lengan Jensen. Tawanya lepas saat ia menyadari sejak tadi ia tidak pernah melepaskan pegangannya dan semakin lepas saat Jensen mengangkat lengan yang masih juga dipegangnya lebih tinggi dan kemudian mengangkat bahunya seakan menjelaskan itulah sebabnya langkahnya tertahan. Peyton melepaskan pegangannya dari lengan Jensen dan memindahkannya pada ujung jaketnya.

“Semoga kau tidak keberatan, aku tidak mau kau hilang di tengah taman ini” ujarnya sambil tersenyum geli. Jensen pun tertawa. Ia menggelengkan kepalanya dan membiarkan dirinya perlahan ditarik Peyton yang dengan segera melepaskannya sambil terbahak. Tawa Jensen pun pecah, hampir saja ia menjatuhkan kedua gelas yang dipegangnya. Saat itu mereka terlihat seperti anak kecil yang sedang berbagi waktu menyenangkan bersama. Begitu lepas dan tak ada beban, tawa mereka menunjukkan hal itu dengan jelas.
***

Brooke menoleh dengan cepat ke arah Peyton. Ia tidak percaya Peyton dengan semudah itu menerima ajakan kencan Jensen. Bagaimana dengan Jake, itu pertanyaan yang pertama kali terlintas di pikirannya.

Peyton tersenyum kecil saat ia membayangkan kejadian tadi siang saat Jensen tiba-tiba mengajaknya kencan. Mereka sedang duduk-duduk menikmati taman itu saat hal itu terjadi dan ia baru saja menceritakan garis besar buku yang dipegangnya kepada Jensen yang ingin tahu mengapa ia begitu menyukai buku itu.

“Sedikit banyak buku ini membuatku berharap untuk dapat menemukan cinta sedalam itu,” tuturnya mengakhiri ringkasan ceritanya.

“Aku tahu ini semua hanya fiksi, tapi tak bisa aku pungkiri aku jatuh cinta pada tokoh pria utama di buku ini, dan sayangnya ia tidak nyata,” tambahnya lagi sambil tertawa malu. Jensen tersenyum ke arahnya, sejak tadi matanya tak lepas memandangnya. Peyton menyadari hal itu dan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.

“Apa itu artinya kau belum menemukan seorang pria di dalam hidupmu?” tanya Jensen dengan tatapan lembut. Peyton melirik Jensen sekilas, mencoba menghindari kelembutan yang dipancarkan oleh matanya itu. Ia mengangguk dan menundukkan kepalanya, “Aku rasa aku tidak akan pernah menemukan pria seperti itu dalam hidupku.”

Jensen tidak memberi tanggapan apa-apa. Cukup lama mereka terdiam, hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
Tiba-tiba saja pria itu mengajaknya kencan.

“Bagaimana kalau kita kencan?” tanyanya saat itu dengan wajah serius. Peyton memandang wajah pria itu kaget, tidak percaya ia baru saja diajak kencan.

Jensen terus menatapnya dan dengan sabar menunggu jawabannya. Tatapannya yang begitu penuh arti membuat Peyton terpaksa melepaskan pandangannya. Ia tahu pria itu serius dan ia tak tega menolaknya. Ia pun menganggukkan kepalanya dan memberikan senyumnya yang tulus. Jensen menggerakkan kepalanya dan bertanya dengan matanya seolah ingin memastikannya lagi. Tanpa ragu Peyton kembali mengangguk. Jensen tersenyum lebar, matanya berbinar bahagia. Saat itulah Peyton menyadari Jensen tidak main-main dengan ajakannya itu dan menganggap kencan ini serius. Dan di saat itu pula ia sadar ia telah mengambil keputusan yang tidak tepat.

“Jadi kau akan berkencan dengannya malam ini juga? Wow.. cepat amat!” ujar Brooke masih dengan nada heran. Peyton terbangun dari lamunannya.

Peyton menoleh ke arah brooke dan memberinya anggukan. Ia sendiri tak yakin ia membuat keputusan yang tepat, tapi ia memang tidak keberatan menghabiskan waktu bersama Jensen. Pria itu bukan hanya sekedar enak dipandang, tapi juga memberinya rasa nyaman. Rasa yang baginya sangat penting saat berhubungan dengan seorang pria.

“Yup, malam ini juga,” sahut Peyton. “Dan bagiku bukan kencan.” tambahnya lagi cepat-cepat. Ia tahu ini adalah kencan bagi jensen, tapi ia tidak mau menganggapnya kencan sebelum ia mendapat kepastian akan kelanjutan hubungannya dengan Jake. Beberapa bulan ia selangkah demi selangkah sudah mulai menyiapkan dirinya untuk melepaskan Jake dari hidupnya. Sedikit banyak ia yakin hubungan mereka sudah berakhir, terutama karena Jake tidak berhenti menghindar darinya selama ini tapi ia bagaimanapun ia butuh kepastian.

“Tentu saja ini kencan, kau tidak mau mengakuinya pun kenyataannya memang begitu,” protes Brooke. Ia tak mau temannya membohongi dirinya sendiri. Peyton tersenyum getir.

“Apakah aku sebaiknya mengakui ini sebagai kencan saat hubunganku dengan Jake belum jelas arahnya. Apalah aku sedang menjerumuskan diriku sendiri ke dalam masalah?” tanya Peyton cemas.

Brooke berpikir sejenak, mencoba mencari jawaban yang dirasanya tepat. Ia tahu selama 2 bulan ini Peyton tidak pernah berhenti berusaha untuk menghubungi Jake. Entah apa yang terjadi, tapi pria itu tiba-tiba menjadi pengecut dan menghilang. Ia benar-benar merasa kecewa terhadap Jake yang selama ini ia kenal sebagai pria yang sangat bertanggung jawab.
“Semua ini salah Jake, ia yang mengabaikanmu selama ini. Kau berhak melakukan apa saja sekarang, Peduli amat dengan dia,” sahut Brooke dengan nada sewot.

“Kau yakin?” tanya Peyton masih ragu-ragu. ia tak mau hal ini membuat hidupnya semakin rumit. Nada suara Peyton membuat Brooke ragu-ragu. Ia tak mau menjerumuskan temannya itu ke dalam masalah yang lebih besar.
“Bagaimana kalau kau telepon dia sekali lagi, dan kalau kali ini ia tidak juga mengangkatnya, kita anggap saja ia tak lagi layak untuk bersamamu dan kau sudah tidak ada hubungan apa-apa dengannya,” usulnya sambil berharap ini tidak akan membuat semuanya bertambah rumit nantinya.

Peyton memikirkan usul Brooke. Ia tahu ia harus menuntaskan semua ini sebelum ia bisa melanjutkan hidupnya sepenuhnya. Karena itu ia tidak menimbang lama-lama dan mengambil telepon genggamnya di sakunya. Ia menekan sebuah tombol quick dial dan mendekatkan teleponnya ke telinganya. Peyton menunggu lama dan teleponnya tak kunjung dijawab. Dengan kecewa ia melipat kembali telepon genggamnya. Brooke menepuk pundak Peyton dengan lembut dan kemudian memeluknya. Peyton berusaha menahan rasa kecewanya dan membalas pelukan Brooke.
Saat itu Peyton membuat keputusan di hatinya untuk menjadikan telepon tadi sebagai akhir dari hubungannya dengan Jake. Sekarang ia berhak untuk berkencan dengan siapapun.
***
Jensen datang menjemput Peyton lebih pagi dari seharusnya. Matanya bersinar saat ia melihat Peyton dalam balutan gaun malam. Peyton mengenakan gaun berwarna hitam yang membuatnya terlihat semakin menawan. Tatapan mata Jensen dipenuhi dengan kekaguman dan matanya tak kunjung lepas memandangnya. Brooke menyenggol Peyton dengan pundaknya
”Seriously dia memujamu!” bisiknya geli melihat pria itu tidak juga mengalihkan pandangan dari Peyton. Peyton tersenyum lebar ke arah Brooke. Ia kini tak lagi merasa terbeban dengan keputusannya menerima kencan dari Jensen.
Peyton kemudian berjalan perlahan menghampiri Jensen seraya membalas tatapannya dengan malu-malu. Ia tahu Jensen saat itu sedang menilainya dan hal itu membuatnya tersipu.

“Kau sangat cantik dan sempurna,” ujar Jensen sambil menahan napasnya saat Peyton tiba di depannya. Brooke yang sudah berpengalaman dengan bermacam-macam pria dalam hidupnya dapat menangkap ketulusan dalam perkataannya itu, jauh dari rayuan gombal belaka.

Peyton tertawa. Ia kemudian mengangkat sebelah tangannya seolah menyuruh Jensen menunggu gilirannya untuk mendapat penilaian. Peyton mengamati keseluruhan penampilan Jensen sambil tersenyum lebar. Ia tahu hal itu membuat pria itu merasa grogi. Hal itu jelas terlihat di kedua matanya.

Peyton tidak perlu mengamati Jensen lama-lama. Baginya pria itu terlihat sempurna dengan setelan jas berwarna hitam dipadu dengan kemeja berwarna biru tanpa dasi. Rambutnya yang tersisir rapi serta diberi sedikit gel membuatnya terlihat semakin tampan. Senyumnya mengembang sempurna, matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Ia sungguh terlihat sangat menawan

“Kau juga terlihat sangat menawan dan sempurna,” ujar Peyton dengan tulus seraya menatap mata Jensen dengan lembut. Jensen terlihat lega mendapat penilaian seperti itu, wajahnya yang sebelumnya terlihat grogi saat ini terlihat berseri-seri. Brooke melihat mereka dengan gemas. Baginya sebuah ciuman atau setidaknya pelukan seharusnya sudah terjadi saat ini.
Jensen kemudian memimpin Peyton ke arah pintu. Ia membukakan pintu dan melebarkan sebelah tangannya sambil sedikit membungkuk, mempersilakan Peyton keluar terlebih dahulu. Peyton mengucapkan terimakasih sambil tertawa. Hatinya saat ini terasa lega bukan hanya karena ia tidak perlu lagi merasa bersalah, tapi juga karena dipenuhi firasat yang baik kalau kencannya dengan Jensen akan berlangsung dengan menyenangkan
***
didar
didar
FF super addicted
FF super addicted

Posts : 255
Join date : 2009-07-09

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum