New Beginnings - Chapter 22
2 posters
Page 1 of 1
New Beginnings - Chapter 22
“Bagaimana enak tidak?” Lucas mengamati Peyton memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Saat ini mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran Perancis yang cukup mewah. Restoran kesukaannya yang juga menjadi restoran kesukaan Peyton setelah ia membawanya untuk pertama kalinya beberapa minggu yang lalu.
Peyton mengunyah dengan cepat lalu mengangguk. Ini adalah ketiga kalinya mereka datang ke tempat ini dan selama ini makanan apapun yang dipilihnya selalu memuaskan. “Bagaimana dengan pesananmu?” tanyanya sambil melirik ke arah piring yang ada di hadapan Lucas.
Lucas mengangguk dengan ekspresi puas. “Cobalah,” ujarnya sambil mendorong piringnya. Peyton menusuk dengan garpunya potongan daging yang ada di piring Lucas lalu mencicipinya. “Hmm,” gumamnya dengan mulut penuh. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan.
Lucas tertawa kecil. “Aku tahu kau pasti menyukainya. Lain kali kita datang ke sini lagi, kau bisa memesannya,” ujarnya sambil memindahkan sebagian isi piringnya ke atas piring Peyton.
Peyton menahan tangan Lucas. “Luke, nanti kau sendiri tidak kenyang.”
Lucas menggeleng. “Tidak apa. Aku tidak lapar,” ujarnya dengan nada lelah.
“Apa pekerjaanmu akhir-akhir ini terlalu sibuk? Sudah beberapa hari ini kau kehilangan selera makan,” Peyton mengamati Lucas dengan cemas.
Lucas menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja,” ujarnya berbohong, menyembunyikan kelelahan yang sudah mencapai puncaknya. Sudah 3 minggu ini ia berusaha untuk merebut hak asuh Leighton lewat jalur hukum dan semua itu sama sekali tidak menunjukkan titik terang. Bila ia kalah, Leighton mungkin akan dibawa pergi ke luar negeri oleh kakek dan neneknya. Semua itu ia sembunyikan dari Peyton karena ia tak berniat mengikutsertakannya dalam drama perebutan hak asuh Leighton. Baginya ini masalah keluarga yang tidak perlu dicampuri oleh siapapun.
“Luke, kau tidak perlu menanggung segala sesuatunya sendiri. Mungkin kau mau berbagi denganku apa yang membuatmu begitu lelah akhir-akhir ini?” Peyton menatap Lucas lekat-lekat. Walau ia belum lama mengenal Lucas namun ada beberapa hal yang dengan mudah dapat dibaca darinya. Beberapa minggu terakhir Lucas lebih banyak termenung dan terlihat sangat berbeban. Terbeban akan sesuatu yang tidak dapat ia tebak sama sekali.
“Nenekku sudah pulang dari luar negeri dan ia sudah masuk kembali ke kantor. Melihatnya setiap hari sungguh membuatku lelah,” ujar Lucas. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Neneknya memang membuatnya lelah dan melihatnya tiap hari benar-benar menguras energinya.
“Kalau begitu aku akan menemanimu sepanjang pekan depan,” ujar Peyton dengan lembut.
Akhir-akhir ini mereka hanya dapat menghabiskan waktu bersama di malam hari atau di pagi hari jika ia bermalam di apartemennya sebelumnya. Selebihnya kegiatan Lucas di kantor sangat menyita waktu sehingga waktu bertemu mereka berkurang cukup banyak. Hanya di hari-hari Jumat seperti ini Lucas mempunyai waktu luang dan mereka dapat pergi keluar bersama. Sesudahnya mereka biasanya akan menghabiskan waktu semalam penuh untuk menikmati keberadaan satu sama lain. Baginya hubungannya dengan Lucas sudah mencapai tahap yang membuat hatinya terasa tenang. Walau Lucas masih belum sepenuhnya terbuka kepadanya, namun perlahan-lahan ia sudah membiarkannya masuk ke dalam hidupnya.
Lucas menyisihkan sebagian tempat di lemarinya untuk baju-bajunya. Ia juga membelikan segala keperluan mandi untuknya. Ia sendiri menghabiskan beberapa malam dalam seminggu di apartemen Lucas dan ia yang mempersiapkan segala keperluan Lucas saat ia berada di sana, semuanya terasa sangat nyaman, seakan memang takdirnya untuk menemani Lucas di sampingnya untuk selamanya.
“Bagaimana kalau sepanjang akhir pekan ini kau menginap di apartemenku?” tanya Lucas sambil mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Peyton. “Leighton tidak akan datang minggu ini,” ujarnya sedikit bergumam. Kedua matanya samar-samar memancarkan keputusasaan.
“Mengapa?” tanya Peyton dengan kening berkerut. “ Apa Leighton baik-baik saja?”
Lucas menghela napasnya. “Dia baik … ,”
“Lucas.” Suara seorang pria yang terkesan antusias terdengar di samping mereka. Lucas dan Peyton menengadahkan kepalanya. Peyton mengembangkan senyum ramah saat ia mengenali pria itu. Lucas memicingkan matanya dan mengatup rahangnya rapat-rapat.
“Miss Sawyer. Sudah dua kali kita berjumpa. Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu dengan ramah.
Peyton mengangguk.” Baik. Bagaimana denganmu Mr. Lee?” ujarnya dengan ramah.
Pria bernama Mr.Lee itu tertawa lalu menjawab dengan semangat. “Aku baik-baik saja, terimakasih atas perhatianmu.” Ia kemudian menoleh ke arah Lucas. “Aku gembira karena hubungan kalian sepertinya sudah mantap,” ujarnya dengan tulus.
Lucas tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya yang tidak diwarnai senyum terlihat sangat kaku. Kedua matanya memandang ke depan dengan datar. Peyton cepat-cepat mengembangkan senyumnya saat Mr. Lee dengan gugup mengalihkan pandangannya kepadanya.
“Itu bukan urusanmu, bukankah begitu Mr. Lee?” Lucas tiba-tiba mendongakkan kepalanya ke arah Mr Lee dan menatapnya dengan penuh emosi. Suaranya yang meninggi membuat beberapa orang di sekeliling mereka menoleh. Peyton memegang tangan Lucas. "Luke, jangan," tegurnya dengan cemas. Lucas menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali memandang Mr Lee dengan tajam.
“Baiklah, kalau begitu kalian makanlah dengan santai. Aku tidak akan mengganggu lagi,” ujar Mr. Lee terlihat semakin gugup. Ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan mereka dengan langkah lebar.
Lucas kembali menekuni makan malamnya. Wajahnya yang kaku perlahan melembut namun ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
“Luke, dia hanya ingin beramah tamah. Kau tidak perlu marah hanya karena itu kepadanya,” ujar Peyton saat ia melihat Mr Lee sudah berlalu cukup jauh.
“Dia orang kepercayaan nenekku. Bagiku itu berarti dia pria yang tidak berguna,” ujar Lucas sedingin es.
“Kau marah hanya karena dia menanyakan tentang hubungan kita?” tanya Peyton heran.
“Hubungan kita bukan urusan orang lain,” ujar Lucas dengan nada tegas sambil mendorong piringnya menjauh. Peristiwa tadi membuat selera makannya hilang tak bersisa.
“Luke, sejak tadi kau baru makan sedikit sekali,” ujar Peyton dengan nada kuatir.
Lucas menggelengkan kepalanya. “Aku sungguh tidak lapar.”
“Luke,” tegur Peyton sambil memegang tangannya.
Lucas menggenggam erat tangan Peyton erat-erat. “Aku baik-baik saja. Kau nikmati saja makan malammu dengan tenang. Aku akan menunggu dengan sabar,” ujarnya sambil mengeluarkan blackberry dari saku jasnya dan menyibukkan diri dengannya.
Peyton memandang sekelilingnya. Beberapa orang menoleh ke arah Lucas sambil berbisik-bisik. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk tidak mendesak Lucas lagi dan kembali menekuni makan malamnya. Sesekali ia melirik ke arah Lucas yang lebih banyak termenung.
Peyton mengurut kepalanya yang tiba-tiba berdenyut dihantam kegalauan hatinya. Satu yang terkadang menjadi beban pikirannya selama ini. Lucas enggan memperkenalkan dirinya kepada siapapun sebagai kekasihnya. Hanya Julian yang mengetahui hubungan mereka yang sesungguhnya. Selebihnya hubungan mereka terkesan sangat rahasia.
Lucas tidak juga memperkenalkan dirinya kepada keluarganya. Beberapa kali mereka bertemu dengan koleganya di restoran atau di manapun, ia hanya memperkenalkannya sepintas lalu, seakan dirinya hanyalah seorang wanita yang tidak berarti apapun. Sedikit banyak hal itu membuatnya bertanya-tanya akan arti dirinya bagi Lucas. Sejauh ini ia memang tidak pernah meragukan cinta Lucas kepada dirinya. Ia dapat merasakannya dengan jelas tapi ia juga merasakan Lucas tidak berani mencintainya terlalu jauh. Lucas menjaga jarak sampai tahap tertentu. Selain hal itu ia sebenarnya tidak mempunyai keluhan apapun. Lucas memperlakukannya dengan baik dan mereka tidak pernah bertengkar sedikitpun dalam hal apapun. Hampir dalam segala hal mereka sangat cocok dan Lucas ternyata tidak sesulit itu untuk dimengerti. Dalam beberapa hal, ia hanyalah seorang pria yang sederhana yang terkadang berbahagia hanya karena hal-hal sepele.
***
“Maafkan aku,” ujar Lucas dengan nada lelah saat mereka sedang berjalan menuju pintu lift. Ia kemudian menahan langkah Peyton dan membalikkan tubuhnya ke arahnya.
“Mungkin aku terlalu lelah sehingga emosiku naik dengan cepat,” ujarnya dengan lembut. Peyton menatap kedua mata Lucas dalam-dalam. “Aku mengerti,” ujarnya dengan penuh pengertian. “Tapi aku ingin kau jujur kepadaku. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Tidak. Apa yang membuatmu berpikir demikian?” ujar Lucas berusaha terdengar meyakinkan.
Peyton memandang Lucas lekat-lekat untuk beberapa saat. “Sungguh?” desaknya lagi. Lucas menyentuh ujung hidung Peyton dengan lembut.
“Aku sangat menghargai perhatianmu namun kau juga harus belajar mempercayaiku,” ujarnya dengan pandangan penuh arti. “ Aku sungguh baik-baik saja. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah…” Lucas menarik Peyton ke dalam pelukannya. “Memelukmu erat-erat seperti ini hingga pagi.”
Peyton membenamkan dirinya dalam pelukan Lucas. “Kau terlihat muram akhir-akhir ini.”
Lucas melepaskan pelukannya. “Kau tahu apa yang dapat membuatku bahagia? Kau,” ujarnya dengan pandangan penuh arti. Peyton tersenyum penuh haru.
“Leighton tidak datang. Kau tidak punya alasan untuk tidak menginap di apartemenku selama akhir pekan ini. Lagipula kita bisa menghabiskan tiga malam berturut-turut dalam pelukan satu sama lain sama sekali bukan hal yang buruk, bukan?” bisik Lucas dengan mesra.
Peyton menatap Lucas dengan mesra. “Apa maksud pertanyaanmu yang sebenarnya adalah apakah aku keberatan menciummu tiga malam berturut-turut?” tanya Peyton dengan tatapan menggoda. Lucas tertawa kecil lalu mengangguk. “Aku sama sekali tidak keberatan,” bisik Peyton dengan binar penuh arti memancar di kedua matanya.
“Kalau begitu bagaimana jika aku memberimu sebuah pendahuluan?” Lucas memandang Peyton dengan mesra.
“Mm.. hmm.. berikan kepadaku,” bisik Peyton sambil menengadahkan wajahnya. Lucas menundukkan kepalanya dan mencium Peyton dengan lembut.
***
Peyton menatap ke arah pintu kaca dengan pandangan menerawang. Hujan deras mengguyur Kota New York di hari itu sungguh membuatnya tidak berdaya. Hari yang seharusnya ia lewati dengan melukis namun terpaksa ia batalkan. Kini ia duduk di atas sofa di dalam ruang kerja Lucas, menunggunya pulang.
Peyton memejamkan matanya sejenak lalu berdiri dari bangkunya dan berjalan ke pintu kaca dan memandang pemandangan Kota New York yang berkabut di tengah guyuran hujan deras. Perlahan pikirannya tersapu oleh semua itu dan sebuah perasaan yang sulit dideskripsikan mengambil alih seluruh rasa di hatinya.
Peyton mengunyah dengan cepat lalu mengangguk. Ini adalah ketiga kalinya mereka datang ke tempat ini dan selama ini makanan apapun yang dipilihnya selalu memuaskan. “Bagaimana dengan pesananmu?” tanyanya sambil melirik ke arah piring yang ada di hadapan Lucas.
Lucas mengangguk dengan ekspresi puas. “Cobalah,” ujarnya sambil mendorong piringnya. Peyton menusuk dengan garpunya potongan daging yang ada di piring Lucas lalu mencicipinya. “Hmm,” gumamnya dengan mulut penuh. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan.
Lucas tertawa kecil. “Aku tahu kau pasti menyukainya. Lain kali kita datang ke sini lagi, kau bisa memesannya,” ujarnya sambil memindahkan sebagian isi piringnya ke atas piring Peyton.
Peyton menahan tangan Lucas. “Luke, nanti kau sendiri tidak kenyang.”
Lucas menggeleng. “Tidak apa. Aku tidak lapar,” ujarnya dengan nada lelah.
“Apa pekerjaanmu akhir-akhir ini terlalu sibuk? Sudah beberapa hari ini kau kehilangan selera makan,” Peyton mengamati Lucas dengan cemas.
Lucas menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja,” ujarnya berbohong, menyembunyikan kelelahan yang sudah mencapai puncaknya. Sudah 3 minggu ini ia berusaha untuk merebut hak asuh Leighton lewat jalur hukum dan semua itu sama sekali tidak menunjukkan titik terang. Bila ia kalah, Leighton mungkin akan dibawa pergi ke luar negeri oleh kakek dan neneknya. Semua itu ia sembunyikan dari Peyton karena ia tak berniat mengikutsertakannya dalam drama perebutan hak asuh Leighton. Baginya ini masalah keluarga yang tidak perlu dicampuri oleh siapapun.
“Luke, kau tidak perlu menanggung segala sesuatunya sendiri. Mungkin kau mau berbagi denganku apa yang membuatmu begitu lelah akhir-akhir ini?” Peyton menatap Lucas lekat-lekat. Walau ia belum lama mengenal Lucas namun ada beberapa hal yang dengan mudah dapat dibaca darinya. Beberapa minggu terakhir Lucas lebih banyak termenung dan terlihat sangat berbeban. Terbeban akan sesuatu yang tidak dapat ia tebak sama sekali.
“Nenekku sudah pulang dari luar negeri dan ia sudah masuk kembali ke kantor. Melihatnya setiap hari sungguh membuatku lelah,” ujar Lucas. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Neneknya memang membuatnya lelah dan melihatnya tiap hari benar-benar menguras energinya.
“Kalau begitu aku akan menemanimu sepanjang pekan depan,” ujar Peyton dengan lembut.
Akhir-akhir ini mereka hanya dapat menghabiskan waktu bersama di malam hari atau di pagi hari jika ia bermalam di apartemennya sebelumnya. Selebihnya kegiatan Lucas di kantor sangat menyita waktu sehingga waktu bertemu mereka berkurang cukup banyak. Hanya di hari-hari Jumat seperti ini Lucas mempunyai waktu luang dan mereka dapat pergi keluar bersama. Sesudahnya mereka biasanya akan menghabiskan waktu semalam penuh untuk menikmati keberadaan satu sama lain. Baginya hubungannya dengan Lucas sudah mencapai tahap yang membuat hatinya terasa tenang. Walau Lucas masih belum sepenuhnya terbuka kepadanya, namun perlahan-lahan ia sudah membiarkannya masuk ke dalam hidupnya.
Lucas menyisihkan sebagian tempat di lemarinya untuk baju-bajunya. Ia juga membelikan segala keperluan mandi untuknya. Ia sendiri menghabiskan beberapa malam dalam seminggu di apartemen Lucas dan ia yang mempersiapkan segala keperluan Lucas saat ia berada di sana, semuanya terasa sangat nyaman, seakan memang takdirnya untuk menemani Lucas di sampingnya untuk selamanya.
“Bagaimana kalau sepanjang akhir pekan ini kau menginap di apartemenku?” tanya Lucas sambil mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Peyton. “Leighton tidak akan datang minggu ini,” ujarnya sedikit bergumam. Kedua matanya samar-samar memancarkan keputusasaan.
“Mengapa?” tanya Peyton dengan kening berkerut. “ Apa Leighton baik-baik saja?”
Lucas menghela napasnya. “Dia baik … ,”
“Lucas.” Suara seorang pria yang terkesan antusias terdengar di samping mereka. Lucas dan Peyton menengadahkan kepalanya. Peyton mengembangkan senyum ramah saat ia mengenali pria itu. Lucas memicingkan matanya dan mengatup rahangnya rapat-rapat.
“Miss Sawyer. Sudah dua kali kita berjumpa. Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu dengan ramah.
Peyton mengangguk.” Baik. Bagaimana denganmu Mr. Lee?” ujarnya dengan ramah.
Pria bernama Mr.Lee itu tertawa lalu menjawab dengan semangat. “Aku baik-baik saja, terimakasih atas perhatianmu.” Ia kemudian menoleh ke arah Lucas. “Aku gembira karena hubungan kalian sepertinya sudah mantap,” ujarnya dengan tulus.
Lucas tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya yang tidak diwarnai senyum terlihat sangat kaku. Kedua matanya memandang ke depan dengan datar. Peyton cepat-cepat mengembangkan senyumnya saat Mr. Lee dengan gugup mengalihkan pandangannya kepadanya.
“Itu bukan urusanmu, bukankah begitu Mr. Lee?” Lucas tiba-tiba mendongakkan kepalanya ke arah Mr Lee dan menatapnya dengan penuh emosi. Suaranya yang meninggi membuat beberapa orang di sekeliling mereka menoleh. Peyton memegang tangan Lucas. "Luke, jangan," tegurnya dengan cemas. Lucas menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali memandang Mr Lee dengan tajam.
“Baiklah, kalau begitu kalian makanlah dengan santai. Aku tidak akan mengganggu lagi,” ujar Mr. Lee terlihat semakin gugup. Ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan mereka dengan langkah lebar.
Lucas kembali menekuni makan malamnya. Wajahnya yang kaku perlahan melembut namun ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
“Luke, dia hanya ingin beramah tamah. Kau tidak perlu marah hanya karena itu kepadanya,” ujar Peyton saat ia melihat Mr Lee sudah berlalu cukup jauh.
“Dia orang kepercayaan nenekku. Bagiku itu berarti dia pria yang tidak berguna,” ujar Lucas sedingin es.
“Kau marah hanya karena dia menanyakan tentang hubungan kita?” tanya Peyton heran.
“Hubungan kita bukan urusan orang lain,” ujar Lucas dengan nada tegas sambil mendorong piringnya menjauh. Peristiwa tadi membuat selera makannya hilang tak bersisa.
“Luke, sejak tadi kau baru makan sedikit sekali,” ujar Peyton dengan nada kuatir.
Lucas menggelengkan kepalanya. “Aku sungguh tidak lapar.”
“Luke,” tegur Peyton sambil memegang tangannya.
Lucas menggenggam erat tangan Peyton erat-erat. “Aku baik-baik saja. Kau nikmati saja makan malammu dengan tenang. Aku akan menunggu dengan sabar,” ujarnya sambil mengeluarkan blackberry dari saku jasnya dan menyibukkan diri dengannya.
Peyton memandang sekelilingnya. Beberapa orang menoleh ke arah Lucas sambil berbisik-bisik. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk tidak mendesak Lucas lagi dan kembali menekuni makan malamnya. Sesekali ia melirik ke arah Lucas yang lebih banyak termenung.
Peyton mengurut kepalanya yang tiba-tiba berdenyut dihantam kegalauan hatinya. Satu yang terkadang menjadi beban pikirannya selama ini. Lucas enggan memperkenalkan dirinya kepada siapapun sebagai kekasihnya. Hanya Julian yang mengetahui hubungan mereka yang sesungguhnya. Selebihnya hubungan mereka terkesan sangat rahasia.
Lucas tidak juga memperkenalkan dirinya kepada keluarganya. Beberapa kali mereka bertemu dengan koleganya di restoran atau di manapun, ia hanya memperkenalkannya sepintas lalu, seakan dirinya hanyalah seorang wanita yang tidak berarti apapun. Sedikit banyak hal itu membuatnya bertanya-tanya akan arti dirinya bagi Lucas. Sejauh ini ia memang tidak pernah meragukan cinta Lucas kepada dirinya. Ia dapat merasakannya dengan jelas tapi ia juga merasakan Lucas tidak berani mencintainya terlalu jauh. Lucas menjaga jarak sampai tahap tertentu. Selain hal itu ia sebenarnya tidak mempunyai keluhan apapun. Lucas memperlakukannya dengan baik dan mereka tidak pernah bertengkar sedikitpun dalam hal apapun. Hampir dalam segala hal mereka sangat cocok dan Lucas ternyata tidak sesulit itu untuk dimengerti. Dalam beberapa hal, ia hanyalah seorang pria yang sederhana yang terkadang berbahagia hanya karena hal-hal sepele.
***
“Maafkan aku,” ujar Lucas dengan nada lelah saat mereka sedang berjalan menuju pintu lift. Ia kemudian menahan langkah Peyton dan membalikkan tubuhnya ke arahnya.
“Mungkin aku terlalu lelah sehingga emosiku naik dengan cepat,” ujarnya dengan lembut. Peyton menatap kedua mata Lucas dalam-dalam. “Aku mengerti,” ujarnya dengan penuh pengertian. “Tapi aku ingin kau jujur kepadaku. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Tidak. Apa yang membuatmu berpikir demikian?” ujar Lucas berusaha terdengar meyakinkan.
Peyton memandang Lucas lekat-lekat untuk beberapa saat. “Sungguh?” desaknya lagi. Lucas menyentuh ujung hidung Peyton dengan lembut.
“Aku sangat menghargai perhatianmu namun kau juga harus belajar mempercayaiku,” ujarnya dengan pandangan penuh arti. “ Aku sungguh baik-baik saja. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah…” Lucas menarik Peyton ke dalam pelukannya. “Memelukmu erat-erat seperti ini hingga pagi.”
Peyton membenamkan dirinya dalam pelukan Lucas. “Kau terlihat muram akhir-akhir ini.”
Lucas melepaskan pelukannya. “Kau tahu apa yang dapat membuatku bahagia? Kau,” ujarnya dengan pandangan penuh arti. Peyton tersenyum penuh haru.
“Leighton tidak datang. Kau tidak punya alasan untuk tidak menginap di apartemenku selama akhir pekan ini. Lagipula kita bisa menghabiskan tiga malam berturut-turut dalam pelukan satu sama lain sama sekali bukan hal yang buruk, bukan?” bisik Lucas dengan mesra.
Peyton menatap Lucas dengan mesra. “Apa maksud pertanyaanmu yang sebenarnya adalah apakah aku keberatan menciummu tiga malam berturut-turut?” tanya Peyton dengan tatapan menggoda. Lucas tertawa kecil lalu mengangguk. “Aku sama sekali tidak keberatan,” bisik Peyton dengan binar penuh arti memancar di kedua matanya.
“Kalau begitu bagaimana jika aku memberimu sebuah pendahuluan?” Lucas memandang Peyton dengan mesra.
“Mm.. hmm.. berikan kepadaku,” bisik Peyton sambil menengadahkan wajahnya. Lucas menundukkan kepalanya dan mencium Peyton dengan lembut.
***
Peyton menatap ke arah pintu kaca dengan pandangan menerawang. Hujan deras mengguyur Kota New York di hari itu sungguh membuatnya tidak berdaya. Hari yang seharusnya ia lewati dengan melukis namun terpaksa ia batalkan. Kini ia duduk di atas sofa di dalam ruang kerja Lucas, menunggunya pulang.
Peyton memejamkan matanya sejenak lalu berdiri dari bangkunya dan berjalan ke pintu kaca dan memandang pemandangan Kota New York yang berkabut di tengah guyuran hujan deras. Perlahan pikirannya tersapu oleh semua itu dan sebuah perasaan yang sulit dideskripsikan mengambil alih seluruh rasa di hatinya.
Last edited by didar on 9th September 2009, 8:59 pm; edited 1 time in total
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
Hai, sayang,” ujar Lucas sambil memeluk Peyton dari belakang. Tubuh Peyton tersentak kaget. Lamunannya telah membawanya jauh dari realitas. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Lucas di sana.
Lucas melepaskan pelukannya dan memandang Peyton dari samping dengan heran. “Kau tidak menyadari kehadiranku?” tanyanya sambil tersenyum. Tidak biasanya Peyton melamun sampai sedalam itu.
Peyton membalikkan tubuhnya, memegang kerah Lucas dan menariknya ke arahnya. Kedua matanya bergerak menelusuri wajah Lucas dengan seksama. Lucas terlihat lelah namun garis-garis kelelahan yang ada di wajahnya itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun. “Hai, tampan,” bisik Peyton sambil memajukan wajahnya dan mengecup ujung hidung Lucas, berdiam di sana untuk sedetik lamanya kemudian menurunkan wajahnya dan mengecup bibir Lucas dengan lembut.
Lucas dengan cepat mengambil alih dan mencium bibir Peyton dengan penuh gairah. Peyton mendesah perlahan kemudian membalas ciuman itu sama bergairahnya. Irama waltz memenuhi pikiran mereka dengan senandung hasrat yang temponya kian meningkat. Namun irama itu kemudian memudar saat Peyton perlahan-lahan menarik dirinya.
“Peyton,” ujar Lucas dengan tatapan tidak puas.
Peyton tertawa. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Lucas dan menatapnya dengan lembut. “Belum cukup?” ujarnya tersenyum menahan geli.
Lucas memandangnya dengan penuh arti. “Aku tidak puas, seharusnya itu bisa berlanjut lagi ke tahap yang lebih mendebarkan,” ujarnya sambil mengintip ke dalam blus Peyton dan mendekapnya lebih erat.
Peyton mengangkat dagu Lucas ke atas dan menatap kedua matanya dengan tajam. “Nope, kau harus mandi dulu lalu makan karena kau terlihat sangat lelah. Lalu lanjutkan menulis. Lalu kita bisa mengobrol sejenak. Lalu … “ Peyton menghentikan kata-katanya. Matanya memandang Lucas dengan penuh gairah. “Kita bisa melakukan apapun yang kau mau,” bisiknya sambil membuka matanya sedikit lebih lebar.
Lucas mengangkat alisnya untuk memastikannya lagi. Peyton mengangguk.
“Kita tidak perlu mengobrol lama, ya kan?” tanya Lucas penuh harap.
“Lama lebih baik, aku bisa mengulang cerita tentang keluargaku dari awal lagi,” ujar Peyton dengan penuh semangat.
“Lagi?” tanya Lucas dengan wajah berkerut ngeri. Peyton memberinya tatapan tajam dan menganggukkan kepalanya berulang kali.
Lucas tertawa kecil. “Baiklah. Kau bisa mengulang cerita tentang keluargamu lagi,” ujarnya dengan nada pasrah. Peyton tersenyum puas. “Ayo, mandilah dulu,” ujarnya sambil mendorong Lucas ke arah pintu.
Lucas menghentikan langkahnya dan menatap Peyton dengan pandangan penuh gairah. “Bagaimana kalau kau ikut denganku?” bisiknya mesra. Kedua tangannya menangkup pipi Peyton dengan lembut.
Peyton menyingkirkan kedua tangan Lucas dari pipinya lalu melangkah mundur. Lucas menahan pinggangnya dan terus bergerak mendekat.
“Luke!” Peyton menarik kepalanya menjauh sambil tertawa. “Aku masih harus mempersiapkan makan malam.”
Lucas menahan kepala Peyton dengan sebelah tangannya. “Akan aku bantu nanti.” Lucas mengunci bibir Peyton dan menciumnya dengan lembut. Peyton luluh dalam ciuman itu dan membiarnya dirinya hanyut di dalamnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya mendorong tubuh Lucas dengan lembut. “Mandilah,” ujarnya dengan lembut . Lucas memandang Peyton lekat-lekat untuk sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
***
“Coba ceritakan tentang adikmu Billy,” ujar Lucas saat Peyton menyendokkan kentang tumbuk untuknya.
Peyton memandang Lucas dengan kening berkerut, tidak biasanya Lucas tertarik kepada Billy.
Lucas tertawa kecil saat mendapati Peyton memandangnya seperti itu. “Kau bilang dia bekerja untuk The CW. Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan.”
“Dia bekerja sebagai salah satu asisten sutradara untuk serial One Tree Hill,” ujar Peyton. “Kenapa kau ingin tahu tentang dia?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Karena aku tahu betapa kau menyayangi adikmu itu dan menurutku dia seorang pria yang cukup mengagumkan. Setidaknya dari setiap ulahnya yang membuat orang tuamu menggelengkan kepala ataupun dari bagaimana dia menaklukkan setiap gadis yang jumlahnya tidak terhitung itu,” tutur Lucas sambil menyeringai.
“Apakah hanya karena itu kau menanyakannya tiba-tiba?” tanya Peyton dengan nada curiga. Bukan sifat Lucas menanyakan sesuatu yang tidak berarti.
“Apa yang kaupikirkan?” ujar Lucas dengan sebelah alis terangkat.
“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu,” ujar Peyton dengan nada protes.
Lucas tertawa. “The CW baru saja menawarkan kerja sama kepadaku. Mereka menawarkan untuk membuat serial TV untuk Forever and Almost Always,” ujar Lucas sambil menyendok salad ke atas piringnya. “Kalau aku menerimanya, aku rasa itu berarti aku akan bekerja sama dengan adikmu.”
Peyton mengamati Lucas lekat-lekat. Lucas belum pernah menceritakan tentang hal itu sebelumnya dan menilai dari raut wajahnya saat ini sudah pasti ia menolak tawaran itu. Lucas tidak mungkin merelakan kisah cintanya dengan Lauren didramatisir dan dijadikan tontonan banyak orang.
“Apa kau akan menerima tawaran itu?” tanya Peyton terkesan sambil lalu. Lucas memandang Peyton sekilas lalu menggeleng. Ia menusuk-nusuk steaknya dengan garpunya dan tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka menghabiskan makan malam dalam keheningan. Peyton melirik Lucas berulang kali dan mengamatinya diam-diam, berusaha menebak apa yang ada di pikiran Lucas saat itu. Situasi seperti ini selalu membuatnya bingung, tak yakin apapun yang ia katakan dapat membuat perasaan Lucas membaik. Di saat-saat seperti itu yang dapat ia lakukan hanyalah menunggu hingga semua itu berlalu dan Lucas mempersilakannya masuk kembali ke hatinya.
Lucas menyantap makan malamnya pelan-pelan. Tak sekalipun ia mengalihkan pandangannya dari piringnya. Pikirannya yang sudah lama tidak dipenuhi Lauren saat ini memutar kembali satu per satu momen yang pernah dilewatinya bersamanya. Hidupnya yang tidak pernah lagi sama dan tidak akan pernah lagi sama. Semua kenangan itu mengisi relung di hatinya bagai air yang tidak melewati sedikit celahpun.
Peyton menyuapkan isi piring terakhir ke dalam mulutnya dan mengunyahnya pelan-pelan. Ia lalu berdiri dari bangkunya dan pergi ke dapur. Sengaja ia berlama-lama di sana dan menyibukkan dirinya dengan membereskan isi lemari dapur. Beberapa kali ia mendapati dirinya termenung, hatinya diwarnai oleh kecemasan akan Lucas dan masa lalunya yang akan terus menghantuinya.
Lucas menghabiskan makan malamnya dan membawanya ke dapur. Langkahnya terhenti saat ia melihat Peyton mengeluarkan seluruh isi lemari dan menjejerkannya dengan rapi di atas meja. Penyesalan menyeruak di hatinya. Ia membawa kembali piringnya ke meja makan dan mengamati Peyton diam-diam dari pintu dapur.
“Peyton,” ujar Lucas setelah mengamati Peyton termenung untuk beberapa saat lamanya.
Peyton menoleh. Senyum lebar tersungging di bibirnya yang mungil. “Apa kau sudah menyelesaikan makan malammu? Biar aku bereskannya sekarang,” ujarnya sambil melangkah ke arah pintu. Wajahnya terlihat riang, jauh berbeda dengan sikapnya yang sejak tadi lebih banyak termenung.
Lucas menahan langkah Peyton saat gadis itu tiba di hadapannya. “Biar aku bantu,” ujarnya dengan lembut.
Peyton menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Kau pergilah menulis. Aku akan membereskan semuanya dan sesudahnya aku akan menemuimu di sana.”
Lucas mengecup bibir Peyton sekilas. “Aku tunggu,” ujarnya dengan lembut. Peyton mengamati Lucas melangkah pergi sambil menghela napasnya. Sudah lama Lauren tidak menjadi pihak ketiga dalam hubungan mereka dan kini saat hal itu terjadi lagi, ia masih juga tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.
Lucas duduk bersandar di kaki sofa menghadap perapian yang akhir-akhir ini sering dinyalakan. Di tangannya terdapat draft novel keduanya di tangannya. Ia membolak-balik halamannya, membacanya sepintas lalu kemudian menutupnya. Wajahnya yang tampan termenung dalam kehampaan.
Peyton menghentikan langkahnya saat ia tiba di ambang pintu, melongokkan kepalanya dan mengamati Lucas lekat-lekat. Ragu untuk mendekatinya di saat seperti itu namun akhirnya ia menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
Senyum Lucas menyambut kedatangan Peyton lebar-lebar. “Hai, sayang,” ujarnya sambil menatap Peyton lekat-lekat. Peyton mengecup pipi Lucas dan duduk bersandar kepadanya.
“Apa yang sedang kaulakukan?” tanyanya sambil mengamati draft novel Lucas. Novel yang selama ini masih menjadi rahasia baginya karena Lucas belum siap berbagi dengannya.
“Aku sedang memikirkan sesuatu tentang buku ini,” ujar Lucas sambil mengalungkan tangannya di belakang pundak Peyton.
“Apa masih ada Nad dan Hay di buku itu?” tanya Peyton dengan pandangan melekat kepada wajah Lucas. Lucas meliriknya sekilas lalu mengangguk. “Mereka masih ada. Bagaimanapun peran mereja sangat penting dalam kehidupan Leighton,” ujarnya.
“Bagaimana kalau kau menceritakan tentang Nathan kali ini?” ujar Peyton, penuh harap Lucas mau berbagi lebih banyak tentang keluarganya. Lucas tersenyum pahit. Entah sudah berapa kali ia menghindari percakapan itu sebelumnya dan ia tidak mungkin menghindarinya selamanya.
“Atau kau bisa menceritakan tentang Haley atau Jamie lagi. Pasti banyak yang belum kau bagi tentang mereka.” ujar Peyton penuh pengertian. Tangannya menepuk paha Lucas dengan lembut.
Lucas menghela napasnya. “Apa yang ingin kauketahui tentang Nathan?” ujarnya tak disangka. Peyton mengangkat kedua alisnya. “Kau akan menceritakan tentang Nathan melebihi apa yang pernah kauceritakan di bukumu?” ujarnya tak percaya.
“Tentu,” ujar Lucas sambil mempererat pelukannya. “Nathan adalah anak ayahku dari istri resminya. Aku baru mengenalnya saat aku dibawa ke rumah nenekku di umur 12. Sebelumnya aku bahkan tidak pernah mengetahui aku masih mempunyai ayah dan sama sekali tidak pernah terpikir aku mempunyai saudara tiri,” ujar Lucas dengan pandangan menerawang.
“Hubunganku dengannya hingga kini hanya sebatas profesional, aku tidak pernah mencampuri urusannya dan dia juga tidak pernah mencampuri urusanku. Kami sama sekali tidak bisa dibilang akrab. Aku mungkin lebih mengenal anaknya Jamie daripada dia,”
Peyton menganggukkan kepalanya. “Bagaimana kalau menceritakan tentang Haley lebih lagi?”
“Haley adalah temanku sejak kecil. Kami mungkin sudah saling mengenal sejak kami masih bayi. Ibunya adalah teman baik ibuku dan ia adalah satu-satunya temanku di masa kecil. Aku sangat penyendiri dan tidak suka bergaul sehingga sulit bagiku untuk mendapat teman namun Haley dengan sabar terus menemaniku,” ujar Lucas sambil tersenyum. Pandangan yang melembut menunjukkan Haley memiliki tempat yang cukup berarti di hatinya.
Lucas melepaskan pelukannya dan memandang Peyton dari samping dengan heran. “Kau tidak menyadari kehadiranku?” tanyanya sambil tersenyum. Tidak biasanya Peyton melamun sampai sedalam itu.
Peyton membalikkan tubuhnya, memegang kerah Lucas dan menariknya ke arahnya. Kedua matanya bergerak menelusuri wajah Lucas dengan seksama. Lucas terlihat lelah namun garis-garis kelelahan yang ada di wajahnya itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun. “Hai, tampan,” bisik Peyton sambil memajukan wajahnya dan mengecup ujung hidung Lucas, berdiam di sana untuk sedetik lamanya kemudian menurunkan wajahnya dan mengecup bibir Lucas dengan lembut.
Lucas dengan cepat mengambil alih dan mencium bibir Peyton dengan penuh gairah. Peyton mendesah perlahan kemudian membalas ciuman itu sama bergairahnya. Irama waltz memenuhi pikiran mereka dengan senandung hasrat yang temponya kian meningkat. Namun irama itu kemudian memudar saat Peyton perlahan-lahan menarik dirinya.
“Peyton,” ujar Lucas dengan tatapan tidak puas.
Peyton tertawa. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Lucas dan menatapnya dengan lembut. “Belum cukup?” ujarnya tersenyum menahan geli.
Lucas memandangnya dengan penuh arti. “Aku tidak puas, seharusnya itu bisa berlanjut lagi ke tahap yang lebih mendebarkan,” ujarnya sambil mengintip ke dalam blus Peyton dan mendekapnya lebih erat.
Peyton mengangkat dagu Lucas ke atas dan menatap kedua matanya dengan tajam. “Nope, kau harus mandi dulu lalu makan karena kau terlihat sangat lelah. Lalu lanjutkan menulis. Lalu kita bisa mengobrol sejenak. Lalu … “ Peyton menghentikan kata-katanya. Matanya memandang Lucas dengan penuh gairah. “Kita bisa melakukan apapun yang kau mau,” bisiknya sambil membuka matanya sedikit lebih lebar.
Lucas mengangkat alisnya untuk memastikannya lagi. Peyton mengangguk.
“Kita tidak perlu mengobrol lama, ya kan?” tanya Lucas penuh harap.
“Lama lebih baik, aku bisa mengulang cerita tentang keluargaku dari awal lagi,” ujar Peyton dengan penuh semangat.
“Lagi?” tanya Lucas dengan wajah berkerut ngeri. Peyton memberinya tatapan tajam dan menganggukkan kepalanya berulang kali.
Lucas tertawa kecil. “Baiklah. Kau bisa mengulang cerita tentang keluargamu lagi,” ujarnya dengan nada pasrah. Peyton tersenyum puas. “Ayo, mandilah dulu,” ujarnya sambil mendorong Lucas ke arah pintu.
Lucas menghentikan langkahnya dan menatap Peyton dengan pandangan penuh gairah. “Bagaimana kalau kau ikut denganku?” bisiknya mesra. Kedua tangannya menangkup pipi Peyton dengan lembut.
Peyton menyingkirkan kedua tangan Lucas dari pipinya lalu melangkah mundur. Lucas menahan pinggangnya dan terus bergerak mendekat.
“Luke!” Peyton menarik kepalanya menjauh sambil tertawa. “Aku masih harus mempersiapkan makan malam.”
Lucas menahan kepala Peyton dengan sebelah tangannya. “Akan aku bantu nanti.” Lucas mengunci bibir Peyton dan menciumnya dengan lembut. Peyton luluh dalam ciuman itu dan membiarnya dirinya hanyut di dalamnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya mendorong tubuh Lucas dengan lembut. “Mandilah,” ujarnya dengan lembut . Lucas memandang Peyton lekat-lekat untuk sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
***
“Coba ceritakan tentang adikmu Billy,” ujar Lucas saat Peyton menyendokkan kentang tumbuk untuknya.
Peyton memandang Lucas dengan kening berkerut, tidak biasanya Lucas tertarik kepada Billy.
Lucas tertawa kecil saat mendapati Peyton memandangnya seperti itu. “Kau bilang dia bekerja untuk The CW. Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan.”
“Dia bekerja sebagai salah satu asisten sutradara untuk serial One Tree Hill,” ujar Peyton. “Kenapa kau ingin tahu tentang dia?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Karena aku tahu betapa kau menyayangi adikmu itu dan menurutku dia seorang pria yang cukup mengagumkan. Setidaknya dari setiap ulahnya yang membuat orang tuamu menggelengkan kepala ataupun dari bagaimana dia menaklukkan setiap gadis yang jumlahnya tidak terhitung itu,” tutur Lucas sambil menyeringai.
“Apakah hanya karena itu kau menanyakannya tiba-tiba?” tanya Peyton dengan nada curiga. Bukan sifat Lucas menanyakan sesuatu yang tidak berarti.
“Apa yang kaupikirkan?” ujar Lucas dengan sebelah alis terangkat.
“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu,” ujar Peyton dengan nada protes.
Lucas tertawa. “The CW baru saja menawarkan kerja sama kepadaku. Mereka menawarkan untuk membuat serial TV untuk Forever and Almost Always,” ujar Lucas sambil menyendok salad ke atas piringnya. “Kalau aku menerimanya, aku rasa itu berarti aku akan bekerja sama dengan adikmu.”
Peyton mengamati Lucas lekat-lekat. Lucas belum pernah menceritakan tentang hal itu sebelumnya dan menilai dari raut wajahnya saat ini sudah pasti ia menolak tawaran itu. Lucas tidak mungkin merelakan kisah cintanya dengan Lauren didramatisir dan dijadikan tontonan banyak orang.
“Apa kau akan menerima tawaran itu?” tanya Peyton terkesan sambil lalu. Lucas memandang Peyton sekilas lalu menggeleng. Ia menusuk-nusuk steaknya dengan garpunya dan tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka menghabiskan makan malam dalam keheningan. Peyton melirik Lucas berulang kali dan mengamatinya diam-diam, berusaha menebak apa yang ada di pikiran Lucas saat itu. Situasi seperti ini selalu membuatnya bingung, tak yakin apapun yang ia katakan dapat membuat perasaan Lucas membaik. Di saat-saat seperti itu yang dapat ia lakukan hanyalah menunggu hingga semua itu berlalu dan Lucas mempersilakannya masuk kembali ke hatinya.
Lucas menyantap makan malamnya pelan-pelan. Tak sekalipun ia mengalihkan pandangannya dari piringnya. Pikirannya yang sudah lama tidak dipenuhi Lauren saat ini memutar kembali satu per satu momen yang pernah dilewatinya bersamanya. Hidupnya yang tidak pernah lagi sama dan tidak akan pernah lagi sama. Semua kenangan itu mengisi relung di hatinya bagai air yang tidak melewati sedikit celahpun.
Peyton menyuapkan isi piring terakhir ke dalam mulutnya dan mengunyahnya pelan-pelan. Ia lalu berdiri dari bangkunya dan pergi ke dapur. Sengaja ia berlama-lama di sana dan menyibukkan dirinya dengan membereskan isi lemari dapur. Beberapa kali ia mendapati dirinya termenung, hatinya diwarnai oleh kecemasan akan Lucas dan masa lalunya yang akan terus menghantuinya.
Lucas menghabiskan makan malamnya dan membawanya ke dapur. Langkahnya terhenti saat ia melihat Peyton mengeluarkan seluruh isi lemari dan menjejerkannya dengan rapi di atas meja. Penyesalan menyeruak di hatinya. Ia membawa kembali piringnya ke meja makan dan mengamati Peyton diam-diam dari pintu dapur.
“Peyton,” ujar Lucas setelah mengamati Peyton termenung untuk beberapa saat lamanya.
Peyton menoleh. Senyum lebar tersungging di bibirnya yang mungil. “Apa kau sudah menyelesaikan makan malammu? Biar aku bereskannya sekarang,” ujarnya sambil melangkah ke arah pintu. Wajahnya terlihat riang, jauh berbeda dengan sikapnya yang sejak tadi lebih banyak termenung.
Lucas menahan langkah Peyton saat gadis itu tiba di hadapannya. “Biar aku bantu,” ujarnya dengan lembut.
Peyton menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Kau pergilah menulis. Aku akan membereskan semuanya dan sesudahnya aku akan menemuimu di sana.”
Lucas mengecup bibir Peyton sekilas. “Aku tunggu,” ujarnya dengan lembut. Peyton mengamati Lucas melangkah pergi sambil menghela napasnya. Sudah lama Lauren tidak menjadi pihak ketiga dalam hubungan mereka dan kini saat hal itu terjadi lagi, ia masih juga tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.
Lucas duduk bersandar di kaki sofa menghadap perapian yang akhir-akhir ini sering dinyalakan. Di tangannya terdapat draft novel keduanya di tangannya. Ia membolak-balik halamannya, membacanya sepintas lalu kemudian menutupnya. Wajahnya yang tampan termenung dalam kehampaan.
Peyton menghentikan langkahnya saat ia tiba di ambang pintu, melongokkan kepalanya dan mengamati Lucas lekat-lekat. Ragu untuk mendekatinya di saat seperti itu namun akhirnya ia menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
Senyum Lucas menyambut kedatangan Peyton lebar-lebar. “Hai, sayang,” ujarnya sambil menatap Peyton lekat-lekat. Peyton mengecup pipi Lucas dan duduk bersandar kepadanya.
“Apa yang sedang kaulakukan?” tanyanya sambil mengamati draft novel Lucas. Novel yang selama ini masih menjadi rahasia baginya karena Lucas belum siap berbagi dengannya.
“Aku sedang memikirkan sesuatu tentang buku ini,” ujar Lucas sambil mengalungkan tangannya di belakang pundak Peyton.
“Apa masih ada Nad dan Hay di buku itu?” tanya Peyton dengan pandangan melekat kepada wajah Lucas. Lucas meliriknya sekilas lalu mengangguk. “Mereka masih ada. Bagaimanapun peran mereja sangat penting dalam kehidupan Leighton,” ujarnya.
“Bagaimana kalau kau menceritakan tentang Nathan kali ini?” ujar Peyton, penuh harap Lucas mau berbagi lebih banyak tentang keluarganya. Lucas tersenyum pahit. Entah sudah berapa kali ia menghindari percakapan itu sebelumnya dan ia tidak mungkin menghindarinya selamanya.
“Atau kau bisa menceritakan tentang Haley atau Jamie lagi. Pasti banyak yang belum kau bagi tentang mereka.” ujar Peyton penuh pengertian. Tangannya menepuk paha Lucas dengan lembut.
Lucas menghela napasnya. “Apa yang ingin kauketahui tentang Nathan?” ujarnya tak disangka. Peyton mengangkat kedua alisnya. “Kau akan menceritakan tentang Nathan melebihi apa yang pernah kauceritakan di bukumu?” ujarnya tak percaya.
“Tentu,” ujar Lucas sambil mempererat pelukannya. “Nathan adalah anak ayahku dari istri resminya. Aku baru mengenalnya saat aku dibawa ke rumah nenekku di umur 12. Sebelumnya aku bahkan tidak pernah mengetahui aku masih mempunyai ayah dan sama sekali tidak pernah terpikir aku mempunyai saudara tiri,” ujar Lucas dengan pandangan menerawang.
“Hubunganku dengannya hingga kini hanya sebatas profesional, aku tidak pernah mencampuri urusannya dan dia juga tidak pernah mencampuri urusanku. Kami sama sekali tidak bisa dibilang akrab. Aku mungkin lebih mengenal anaknya Jamie daripada dia,”
Peyton menganggukkan kepalanya. “Bagaimana kalau menceritakan tentang Haley lebih lagi?”
“Haley adalah temanku sejak kecil. Kami mungkin sudah saling mengenal sejak kami masih bayi. Ibunya adalah teman baik ibuku dan ia adalah satu-satunya temanku di masa kecil. Aku sangat penyendiri dan tidak suka bergaul sehingga sulit bagiku untuk mendapat teman namun Haley dengan sabar terus menemaniku,” ujar Lucas sambil tersenyum. Pandangan yang melembut menunjukkan Haley memiliki tempat yang cukup berarti di hatinya.
Last edited by didar on 9th September 2009, 9:24 pm; edited 1 time in total
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
“Dia bertemu dengan Nathan pada saat aku mengajaknya ke salah satu pesta yang diadakan keluargaku, mereka kemudian menjalin hubungan. Awalnya diam-diam. Aku sempat protes pada Haley karena ia juga menyembunyikannya dariku dan aku sangat membenci Nathan saat itu. Ketika hubungan mereka semakin terbuka Nenekku adalah orang yang pertama kali menentangnya, sangat menentangnya,” Lucas menggertakkan rahangnya kuat-kuat.
“Haley hanyalah seorang gadis biasa dari keluarga yang tak berarti apa-apa untuk keluarga Scott, itulah alasan nenekku menolaknya. Tapi lama kelamaan ia menyerah pada kegigihan Nathan. Bagaimanapun bagi nenekku Nathan adalah satu-satunya cucunya dan ia rela melakukan apa saja deminya,” Lucas mengatakan semua itu dengan nada tidak puas.
“Nenekku menolak Haley tak kalah keras dibanding dengan saat ia menolak Lauren namun berbeda dengan apa yang akhirnya diterima oleh Haley, hingga detik ini nenekku tak pernah mengakui Lauren sebagai anggota keluarga Scott. Ia bahkan menganggapnya tidak pernah ada,” Lucas mengatakan semua itu dengan geram. Amarah tergambar jelas di wajahnya yang dipenuhi oleh emosi. Peyton memegang tangan Lucas dan menggenggamnya dengan erat.
“Aku akan memutuskan hubunganku dengan mereka kalau bukan karena mereka masih mempunyai pengaruh dalam kehidupan Leighton,” ujar Lucas dengan getir.
Peyton memandang kedua mata Lucas dalam-dalam. “Luke, aku memang tidak mengetahui permasalahannya secara detil tapi mungkin semua masalah itu dapat diselesaikan.”
“Itu tidak mungkin,” ujar Lucas dengan sinis. “Aku akan menyingkirkan mereka jauh-jauh dari hidupku. Kecuali Haley dan Jamie mereka tidak akan menjadi bagian dalam hidupku kelak.” ujarnya dengan penuh emosi.
“Luke,” tegur Peyton sambil menghela napasnya. “Aku mengerti kau tidak mungkin memaafkan mereka secepat itu. Tapi mungkin kalau kau bersedia memberi mereka kesempatan.”
Lucas menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Pintu hatiku sudah tertutup bagi mereka.”
Peyton memegang kedua pipi Lucas dan menatapnya dengan lembut. “Aku akan membantumu kalau kau mau,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Lucas menatap Peyton lekat-lekat. Amarah yang terpancar di kedua matanya perlahan mereda lalu menghilang seluruhnya. Sulit untuk dijelaskan pengaruh positif Peyton dalam dirinya tapi itu yang selalu terjadi, merasa tenang saat ia memandangnya seakan semuanya akan baik-baik saja selama gadis itu ada di sisinya.
“Aku tidak membutuhkan siapapun selain kau dan Leighton.” Lucas menarik Peyton ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat-erat. “Hanya kalian yang kuperlukan saat ini.”
***
Brooke membuka pintu kamar mandi sambil bersiul riang. Peyton sudah pergi sejak pagi dan ia berada di apartemen sendirian. Ia memasuki kamarnya. Dengan satu sentakan ia melepaskan handuk mandinya lalu berjalan dengan santai ke arah lemarinya. Sejenak berdiam di sana sambii menelusuri isi lemarinya dengan matanya.
“Ah,” ujarnya saat ia teringat baju-baju yang dibawanya dari butik kemarin. Baju sampel musim dingin yang sudah selesai dibuatnya dan belum dicoba oleh siapapun. Ia berbalik lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil sampel baju musim dinginnya yang ada di tumpukan teratas. Ia mengamati hasil jahitannya dengan seksama dan kemudian menebarkan baju itu ke atas ranjang. Samar-samar ia mendengar suara ketukan di kaca. Alangkah kagetnya ia saat mendapati seorang pria sedang memandangnya dengan wajah menempel di kaca. Refleks ia mengambil handuk yang tergeletak di bawah, bergegas menutupi tubuhnya dan berjalan ke arah jendela dengan wajah merah padam.
Pria itu cepat-cepat menarik wajahnya dari kaca dan melambaikan tangannya ke atas. Wajahnya yang dipenuhi oleh kumis dan jenggot tebal terlihat panik. Ia terus meneriakkan sesuatu yang hanya dapat didengar Brooke samar-samar. Tatapannya bertemu dengan tatapan Brooke untuk beberapa detik lamanya sebelum akhirnya ia bergerak ke atas.
“Sialan.” Brooke mempercepat langkahnya. Dengan susah payah berusaha mengamati pria itu dari jendela yang tertutup sebelum akhirnya terpikir olehnya untuk membuka kaca jendela. Ia menjulurkan kepalanya dan menengadahkan kepalanya.
“Kalau kau berani hadapi aku sekarang juga,” teriaknya dengan penuh emosi.
Besi penyangga tempat pria itu duduk bergerak dengan cepat menuju ke atap. Brooke menutup kaca jendelanya lalu menghentakkan kakinya sambil memaki. “Pria pengecut. Kau kira kau bisa lolos semudah itu dariku?” Brooke menyusun rencana dengan cepat lalu melangkah menuju lemarinya, memilih baju yang pertama dilihatnya dan mengenakannya cepat-cepat. setengah berlari ia keluar dari apartemennya dan bergegas menghampiri lift.
“Ada apa?” ujar Oliver heran saat ia melihat Tom melepas semua kumis dan janggut palsu dari wajahnya dan kembali mengenakan kacamatanya.
“Aku baru saja mengintip seorang wanita,” ujar Tom.
“Apa maksudmu kau baru mengintip seorang wanita?” tanya Oliver sambil bergegas menyamakan langkahnya dengan langkah Tom yang berjalan dengan cepat ke arah lift.
“Aku tak sengaja melihat seorang wanita yang sedang berganti pakaian.” Ujar Tom dengan nada tidak percaya. Seumur-umur dia melakukan pekerjaan itu, ia memang pernah melihat hal-hal yang tidak perlu dilihatnya tapi melihat seorang wanita cantik membuka handuknya seperti tadi baru pertama kali ia alami.
Oliver menoleh dengan cepat. “Polos?” tanyanya dengan nada penasaran.
Tom mengangguk.
“Gosh, mengapa seumur-umur aku menemanimu menjadi pembersih jendela, aku belum pernah bertemu hal semacam itu,” ujar Oliver dengan nada jengkel.
“Dan dia sangat marah. Aku rasa jika aku masih ada di sana, aku mungkin sudah habis diserangnya.”
“Apa dia cantik?” Oliver memandang Tom dengan iri.
Tom mengangguk dengan cepat. “Sangat cantik.”
Oliver meninju pundak Tom dengan keras. “Dude, kau beruntung!”
Tom tersenyum lebar. “Sulit untuk mengatakan dia tidak cantik. Dia memang sangat cantik,” ujarnya dengan pandangan menerawang, membayangkan kembali wanita yang baru saja dilihatnya tadi.
“Apa kau dapat menebak dia tinggal di lantai berapa?”
“Aku rasa dia ada di lantai 9, karena sebelumnya aku membersihkan apartemen Mrs. Jane dan ia tinggal di lantai 10.”
“Apa kau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Seingatku tidak,” ujar Tom dengan nada tidak yakin.
“Yeah, bila dia secantik yang kaubilang, pasti tidak akan semudah itu untuk dilupakan.” Oliver menyeringai lebar.
Tom tersenyum kaku. “Dia akan menghajarku jika aku bertemu dengannya lagi,” ujarnya dengan nada cemas.
“Dia belum tentu mengenalimu.” Oliver menepuk pundak Tom. “ Samaranmu sangat keren. Dari jauh ayahmu pun tidak mungkin mengenalimu. Apalagi orang yang belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Aku harus minta maaf padanya,” ujar Tom sambil menekan angka 9 pada panel tombol di hadapannya. Oliver menekannya kembali. “Kau tidak akan dapat mengencaninya jika kau mengakui hal itu,” ujar Oliver dengan mata berbinar penuh ide. “Bagaimana kalau kau memperkenalkan dirimu bukan sebagai Tom pengintip tapi sebagai Tom yang sesungguhnya?”
“Maksudmu?” Kening Tom berkerut. “Lagipula siapa yang berniat berkencan dengannya?”
“Maksudku, akan lebih mudah bagimu untuk berkencan dengannya kelak bila kau memperkenalkan dirimu bukan sebagai Tom Pengintip.”
“Aku memang bukan pengintip,” ujar Tom dengan nada jengkel.
“Aku tahu tapi bayangkan betapa sulitnya mengganti image itu jika kau mengaku karena bagaimanapun kau memang mengintipnya.”
“Aku tidak bermaksud mengintipnya. Ia yang tiba-tiba saja membuka handuknya saat aku hendak membersihkan jendelanya. Sesudah itu refleks aku mendekatkan wajahku dan melihatnya.” ujar Tom membela diri. Oliver manggut-manggut beberapa kali. “Aku mengerti. Itu resikonya tinggal di apartemen. Kau tidak boleh lupa menutup jendela karena kau tidak mungkin tahu kapan pembersih kaca datang untuk membersihkan.”
“Kalau ia memang sudah lama tinggal di apartemen ini, dia tidak mungkin tidak tahu. Kemarin New York diguyur hujan deras dan sudah seharusnya dibersihkan jendelanya”
“Aku rasa bagi orang secantik dia, dia mungkin berbagi apa yang dimilikinya sekali-sekali. Anggap aja dia menraktirmu,” ujar Oliver sambil terkekeh.
“Melihat tampangnya yang sangat marah saat itu, aku rasa dia tidak sedang berusaha untuk pamer.”
“Jadi intinya ini deh. Kalau kau ingin berkenalan dengannya dan kemudian melanjutkannya ke tahap-tahap selanjutnya dengan mudah. Kau tidak boleh memperkenalkan dirimu sebagai Tom pengintip. Tapi kalau kau ingin dihajarnya. Yup, siapa tahu kau ini menyukai S&M maka kau harus segera pergi ke apartemennya saat ini dan memperkenalkan dirimu sebagai Tom pengintip. Dua pilihan satu keputusan. Kau yang memutuskan.”
Tom termenung untuk sejenak. “Aku akan minta maaf sekarang,” ujarnya sambil menekan tombol 9.
“Showtime,” bisik Oliver sambil terkekeh. “Tunggu sebentar. Bagaimana kalau dia sekarang sedang menunggumu di depan lift? Ia mungkin akan langsung menghajarkanmu tanpa memberimu kesempatan bagimu untuk meminta maaf.” Oliver memperhatikan wajah Tom yang perlahan berganti dengan keraguan.
“Mungkin sebaiknya kau menunggu beberapa hari sebelum kau meminta maaf.” Oliver menekan tombol 10.
“Kita harus segera keluar dari sini. Aku yakin dia sedang menunggumu.”
“Dia tidak mungkin mengenaliku. Kau bilang sendiri penyamaranku selama ini cukup bagus.”
“Betul juga. Jadi apa yang akan kaulakukan saat ini?”
“Aku rasa aku ingin melihatnya sekali lagi. Akan kuputuskan apakah aku akan meminta maaf atau tidak setelah melihat seberapa marahnya dia,” ujar Tom tersenyum lebar.
“Katakan saja kau ingin bertemu dengannya lagi.”
“Aku tidak keberatan melihatnya sekali lagi,” ujar Tom sambil tersenyum. “Berpakaian lengkapnya tentunya. Itu yang aku maksud,” tambahnya cepat-cepat.
“Haley hanyalah seorang gadis biasa dari keluarga yang tak berarti apa-apa untuk keluarga Scott, itulah alasan nenekku menolaknya. Tapi lama kelamaan ia menyerah pada kegigihan Nathan. Bagaimanapun bagi nenekku Nathan adalah satu-satunya cucunya dan ia rela melakukan apa saja deminya,” Lucas mengatakan semua itu dengan nada tidak puas.
“Nenekku menolak Haley tak kalah keras dibanding dengan saat ia menolak Lauren namun berbeda dengan apa yang akhirnya diterima oleh Haley, hingga detik ini nenekku tak pernah mengakui Lauren sebagai anggota keluarga Scott. Ia bahkan menganggapnya tidak pernah ada,” Lucas mengatakan semua itu dengan geram. Amarah tergambar jelas di wajahnya yang dipenuhi oleh emosi. Peyton memegang tangan Lucas dan menggenggamnya dengan erat.
“Aku akan memutuskan hubunganku dengan mereka kalau bukan karena mereka masih mempunyai pengaruh dalam kehidupan Leighton,” ujar Lucas dengan getir.
Peyton memandang kedua mata Lucas dalam-dalam. “Luke, aku memang tidak mengetahui permasalahannya secara detil tapi mungkin semua masalah itu dapat diselesaikan.”
“Itu tidak mungkin,” ujar Lucas dengan sinis. “Aku akan menyingkirkan mereka jauh-jauh dari hidupku. Kecuali Haley dan Jamie mereka tidak akan menjadi bagian dalam hidupku kelak.” ujarnya dengan penuh emosi.
“Luke,” tegur Peyton sambil menghela napasnya. “Aku mengerti kau tidak mungkin memaafkan mereka secepat itu. Tapi mungkin kalau kau bersedia memberi mereka kesempatan.”
Lucas menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Pintu hatiku sudah tertutup bagi mereka.”
Peyton memegang kedua pipi Lucas dan menatapnya dengan lembut. “Aku akan membantumu kalau kau mau,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Lucas menatap Peyton lekat-lekat. Amarah yang terpancar di kedua matanya perlahan mereda lalu menghilang seluruhnya. Sulit untuk dijelaskan pengaruh positif Peyton dalam dirinya tapi itu yang selalu terjadi, merasa tenang saat ia memandangnya seakan semuanya akan baik-baik saja selama gadis itu ada di sisinya.
“Aku tidak membutuhkan siapapun selain kau dan Leighton.” Lucas menarik Peyton ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat-erat. “Hanya kalian yang kuperlukan saat ini.”
***
Brooke membuka pintu kamar mandi sambil bersiul riang. Peyton sudah pergi sejak pagi dan ia berada di apartemen sendirian. Ia memasuki kamarnya. Dengan satu sentakan ia melepaskan handuk mandinya lalu berjalan dengan santai ke arah lemarinya. Sejenak berdiam di sana sambii menelusuri isi lemarinya dengan matanya.
“Ah,” ujarnya saat ia teringat baju-baju yang dibawanya dari butik kemarin. Baju sampel musim dingin yang sudah selesai dibuatnya dan belum dicoba oleh siapapun. Ia berbalik lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil sampel baju musim dinginnya yang ada di tumpukan teratas. Ia mengamati hasil jahitannya dengan seksama dan kemudian menebarkan baju itu ke atas ranjang. Samar-samar ia mendengar suara ketukan di kaca. Alangkah kagetnya ia saat mendapati seorang pria sedang memandangnya dengan wajah menempel di kaca. Refleks ia mengambil handuk yang tergeletak di bawah, bergegas menutupi tubuhnya dan berjalan ke arah jendela dengan wajah merah padam.
Pria itu cepat-cepat menarik wajahnya dari kaca dan melambaikan tangannya ke atas. Wajahnya yang dipenuhi oleh kumis dan jenggot tebal terlihat panik. Ia terus meneriakkan sesuatu yang hanya dapat didengar Brooke samar-samar. Tatapannya bertemu dengan tatapan Brooke untuk beberapa detik lamanya sebelum akhirnya ia bergerak ke atas.
“Sialan.” Brooke mempercepat langkahnya. Dengan susah payah berusaha mengamati pria itu dari jendela yang tertutup sebelum akhirnya terpikir olehnya untuk membuka kaca jendela. Ia menjulurkan kepalanya dan menengadahkan kepalanya.
“Kalau kau berani hadapi aku sekarang juga,” teriaknya dengan penuh emosi.
Besi penyangga tempat pria itu duduk bergerak dengan cepat menuju ke atap. Brooke menutup kaca jendelanya lalu menghentakkan kakinya sambil memaki. “Pria pengecut. Kau kira kau bisa lolos semudah itu dariku?” Brooke menyusun rencana dengan cepat lalu melangkah menuju lemarinya, memilih baju yang pertama dilihatnya dan mengenakannya cepat-cepat. setengah berlari ia keluar dari apartemennya dan bergegas menghampiri lift.
“Ada apa?” ujar Oliver heran saat ia melihat Tom melepas semua kumis dan janggut palsu dari wajahnya dan kembali mengenakan kacamatanya.
“Aku baru saja mengintip seorang wanita,” ujar Tom.
“Apa maksudmu kau baru mengintip seorang wanita?” tanya Oliver sambil bergegas menyamakan langkahnya dengan langkah Tom yang berjalan dengan cepat ke arah lift.
“Aku tak sengaja melihat seorang wanita yang sedang berganti pakaian.” Ujar Tom dengan nada tidak percaya. Seumur-umur dia melakukan pekerjaan itu, ia memang pernah melihat hal-hal yang tidak perlu dilihatnya tapi melihat seorang wanita cantik membuka handuknya seperti tadi baru pertama kali ia alami.
Oliver menoleh dengan cepat. “Polos?” tanyanya dengan nada penasaran.
Tom mengangguk.
“Gosh, mengapa seumur-umur aku menemanimu menjadi pembersih jendela, aku belum pernah bertemu hal semacam itu,” ujar Oliver dengan nada jengkel.
“Dan dia sangat marah. Aku rasa jika aku masih ada di sana, aku mungkin sudah habis diserangnya.”
“Apa dia cantik?” Oliver memandang Tom dengan iri.
Tom mengangguk dengan cepat. “Sangat cantik.”
Oliver meninju pundak Tom dengan keras. “Dude, kau beruntung!”
Tom tersenyum lebar. “Sulit untuk mengatakan dia tidak cantik. Dia memang sangat cantik,” ujarnya dengan pandangan menerawang, membayangkan kembali wanita yang baru saja dilihatnya tadi.
“Apa kau dapat menebak dia tinggal di lantai berapa?”
“Aku rasa dia ada di lantai 9, karena sebelumnya aku membersihkan apartemen Mrs. Jane dan ia tinggal di lantai 10.”
“Apa kau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Seingatku tidak,” ujar Tom dengan nada tidak yakin.
“Yeah, bila dia secantik yang kaubilang, pasti tidak akan semudah itu untuk dilupakan.” Oliver menyeringai lebar.
Tom tersenyum kaku. “Dia akan menghajarku jika aku bertemu dengannya lagi,” ujarnya dengan nada cemas.
“Dia belum tentu mengenalimu.” Oliver menepuk pundak Tom. “ Samaranmu sangat keren. Dari jauh ayahmu pun tidak mungkin mengenalimu. Apalagi orang yang belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Aku harus minta maaf padanya,” ujar Tom sambil menekan angka 9 pada panel tombol di hadapannya. Oliver menekannya kembali. “Kau tidak akan dapat mengencaninya jika kau mengakui hal itu,” ujar Oliver dengan mata berbinar penuh ide. “Bagaimana kalau kau memperkenalkan dirimu bukan sebagai Tom pengintip tapi sebagai Tom yang sesungguhnya?”
“Maksudmu?” Kening Tom berkerut. “Lagipula siapa yang berniat berkencan dengannya?”
“Maksudku, akan lebih mudah bagimu untuk berkencan dengannya kelak bila kau memperkenalkan dirimu bukan sebagai Tom Pengintip.”
“Aku memang bukan pengintip,” ujar Tom dengan nada jengkel.
“Aku tahu tapi bayangkan betapa sulitnya mengganti image itu jika kau mengaku karena bagaimanapun kau memang mengintipnya.”
“Aku tidak bermaksud mengintipnya. Ia yang tiba-tiba saja membuka handuknya saat aku hendak membersihkan jendelanya. Sesudah itu refleks aku mendekatkan wajahku dan melihatnya.” ujar Tom membela diri. Oliver manggut-manggut beberapa kali. “Aku mengerti. Itu resikonya tinggal di apartemen. Kau tidak boleh lupa menutup jendela karena kau tidak mungkin tahu kapan pembersih kaca datang untuk membersihkan.”
“Kalau ia memang sudah lama tinggal di apartemen ini, dia tidak mungkin tidak tahu. Kemarin New York diguyur hujan deras dan sudah seharusnya dibersihkan jendelanya”
“Aku rasa bagi orang secantik dia, dia mungkin berbagi apa yang dimilikinya sekali-sekali. Anggap aja dia menraktirmu,” ujar Oliver sambil terkekeh.
“Melihat tampangnya yang sangat marah saat itu, aku rasa dia tidak sedang berusaha untuk pamer.”
“Jadi intinya ini deh. Kalau kau ingin berkenalan dengannya dan kemudian melanjutkannya ke tahap-tahap selanjutnya dengan mudah. Kau tidak boleh memperkenalkan dirimu sebagai Tom pengintip. Tapi kalau kau ingin dihajarnya. Yup, siapa tahu kau ini menyukai S&M maka kau harus segera pergi ke apartemennya saat ini dan memperkenalkan dirimu sebagai Tom pengintip. Dua pilihan satu keputusan. Kau yang memutuskan.”
Tom termenung untuk sejenak. “Aku akan minta maaf sekarang,” ujarnya sambil menekan tombol 9.
“Showtime,” bisik Oliver sambil terkekeh. “Tunggu sebentar. Bagaimana kalau dia sekarang sedang menunggumu di depan lift? Ia mungkin akan langsung menghajarkanmu tanpa memberimu kesempatan bagimu untuk meminta maaf.” Oliver memperhatikan wajah Tom yang perlahan berganti dengan keraguan.
“Mungkin sebaiknya kau menunggu beberapa hari sebelum kau meminta maaf.” Oliver menekan tombol 10.
“Kita harus segera keluar dari sini. Aku yakin dia sedang menunggumu.”
“Dia tidak mungkin mengenaliku. Kau bilang sendiri penyamaranku selama ini cukup bagus.”
“Betul juga. Jadi apa yang akan kaulakukan saat ini?”
“Aku rasa aku ingin melihatnya sekali lagi. Akan kuputuskan apakah aku akan meminta maaf atau tidak setelah melihat seberapa marahnya dia,” ujar Tom tersenyum lebar.
“Katakan saja kau ingin bertemu dengannya lagi.”
“Aku tidak keberatan melihatnya sekali lagi,” ujar Tom sambil tersenyum. “Berpakaian lengkapnya tentunya. Itu yang aku maksud,” tambahnya cepat-cepat.
Last edited by didar on 10th September 2009, 4:26 pm; edited 1 time in total
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
reservedBrooke keluar dari apartemennya dengan langkah lebar. Ia mengunci pintu apartemennya cepat-cepat lalu bergegas berjalan ke arah lift. Menekan tombol lift berulang kali dengan tidak sabar sambil memperhatikan petunjuk yang ada di atas pintu lift. Lift itu masih berada di lantai atas. Seringainya mengembang dengan cepat, memikirkan ia akan memergoki pria sialan itu saat pintu lift terbuka dan hal yang pertama yang akan dilakukannya adalah menghajarnya. Dengan wajah tidak sabar ia menunggu lift itu bergerak menuruni lantai satu demi satu.
Brookemengambil ancang-ancang saat lift itu tiba di lantai 9. Tangannya terkepal dengan posisi siap meninju. Pintu lift perlahan terbuka. Ia meletakkan kakinya di antara pintu lift dan bergegas masuk ke dalamnya. Hatinya diliputi kekecewaaan saat mendapati dua pria tampan berdiri di hadapannya. Tidak ada pria berjenggot tebal yang dilihatnya tadi.
Brooke mengumpat dengan keras. Pria sialan itu ternyata lebih pandai dari dugaannya. Dengan kesal ia menekan tombol 1. Berharap ia masih bisa memergoki pria itu di bawah.
Beberapa kali ia menarik napasnya dengan kesal. Wajahnya yang dilingkupi api amarah membuat Tom yang sejak tadi mencuri pandang ke arahnya merasakan bulu kuduknya berdiri.
Oliver mengamati Brooke lekat-lekat. Ia kemudian menyiku Tom sambil menyeringai.
“Wow,” ujarnya tanpa suara. Tom melemparkan tatapan menegur kepadanya.
“Maaf, apa tadi kalian melihat seorang pria berjenggot tebal dengan pakaian seperti seorang pembersih jendela?” Brooke berbalik tiba-tiba ke arah mereka. Tom tersentak kaget. Mulutnya terbuka lebar sambil menatap Brooke dengan pandangan terpana. Brooke membalas tatapannya dengan kening berkerut. Untuk sepersekian detik kecurigaan muncul di hatinya.
“Tidak, sejak tadi kami masuk dari lantai 12. Tidak ada siapapun,” ujar Oliver mengambil alih dengan cepat.
Brooke menoleh ke arahnya. “Kalian masuk di lantai 12?”
Oliver mengangguk sambil tersenyum. “Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Aku sedang mencari seorang pria sialan yang baru saja … ,” Brooke menghentikan ucapannya lalu memejamkan matanya, menyadari ia hampir saja berbagi apa yang baru dialaminya dengan dua pria asing. “Pria sialan yang akau kuhajar sampai habis bila aku melihatnya lagi,” ujarnya berusaha menahan kesabarannya.
Pintu lift berdenting. Brooke keluar dari lift lalu berlari menuju pintu gedung.
Oliver terbahak keras. “Dude, kaulihat betapa marahnya wanita itu?”
Tom mengangguk. “Aku rasa aku sudah menemukan petualanganku selanjutnya.” Seringai tipis muncul di wajahnya yang tampan. Niatnya untuk meminta maaf ternoda oleh jiwa petualangannya yang terpacu oleh adrinalinnya yang sejak tadi terus meningkat. “Catch me if you can.”
***
Kening Lucas berkerut. Ia baru saja mendengar bunyi bel untuk kedua kalinya. Jarum pendek jam pada jam dinding yang ada di hadapannya berada di antara angka 9 dan 10. Selain Julian dan Peyton tidak pernah ada yang datang bertamu malam-malam. Peyton sedang mandi di kamarnya dan Julian mungkin saat ini sudah tiba di Miami. Ia pergi untuk menemui orang tua kekasihnya. Tidak ada yang seharusnya datang semalam ini.
Lucas berdiri dari bangkunya dan melangkah cepat-cepat menuju pintu depan. Pikirannya dipenuhi oleh perkiraan siapa yang datang berkunjung semalam itu. Pikirannya masih berusaha menebak-nebak siapa yang datang semalam itu.
Lucas tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat ia melihat Nathan berdiri di depan apartemennya. Nathan belum pernah datang ke apartemennya selama ini. Hubungan mereka sama sekali tidak dekat dan ia tidak pernah sekalipun mengharapkan kedatangannya. Sekarang ia datang tiba-tiba sama sekali di luar dugaannya.
“Masuklah,” ujar Lucas setelah berdebat dengan keinginannya untuk mengusir Nathan untuk beberapa saat. Keengganan tergambar jelas di nada suaranya yang dingin. Nathan mengangguk tipis lalu memasuki ruang tamu. Pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di apartemen Lucas dan seperti dugaannya selama ini kedatangannya tidak mendapat sambutan.
“Sebaiknya kita berbincang-bincang di ruang tengah,” ujar Lucas mengajak Nathan memasuki ke ruang tengah.
“Ada apa?” tanya Lucas sesaat setelah Nathan menempatkan dirinya di atas sofa. Nathan menatap Lucas sambil menarik napas dalam-dalam. Bukan hal yang mudah baginya untuk berhadapan dengan Lucas selama ini. Lucas tidak pernah menyukainya sejak kecil dan tak pernah berusaha menyembunyikannya sedikitpun.
“Nenek menyuruhku datang untuk memberitahumu bahwa ia sangat mengharapkan kedatanganmu di pesta ulang tahun perusahaan dan ia juga berharap kau membawa serta wanita yang sering terlihat bersamamu akhir-akhir ini,” ujar Nathan sambil melirik sekilas ke arah perapian yang sedang menyala.
Lucas mengerutkan keningnya. Ia tidak pernah menceritakan tentang Peyton kepada siapapun di keluarganya, tidak juga kepada Haley dan Julian tidak mungkin memberitahu hal itu kepada mereka.
Nathan tersenyum tipis saat melihat kebingungan yang terpancar di wajah Lucas. “Mr Lee yang menceritakan soal wanita itu kepada Nenek. Dia bilang dia sering melihatmu makan malam bersama wanita itu ke restoran Perancis yang sering didatanginya. Kau tahu betapa penjilatnya dia, karena itu kau seharusnya sudah bisa menebak Nenek pasti akan segera mengetahui tentang hubunganmu dengan wanita itu saat kau berjumpa dengannya.”
Lucas memejamkan matanya dengan kesal. Sudah seharusnya ia menduganya lebih cepat. Mr Lee menghampirinya setelah memergokinya berciuman dengan Peyton. Tidak mungkin pria tua itu tidak mengadukannya kepada neneknya.
“Sekedar untuk kau ketahui, aku juga tidak menyukai pria penjilat itu,” ujar Nathan bersimpati.
Lucas memandang Nathan dengan tajam lalu mengangguk tipis. “Seharusnya aku sudah dapat menduganya. Mr Lee selalu membesar-besarkan segalanya. Apa yang dikatakannya sama sekali tidak benar.”
Nathan mengangguk setuju. “Ohya, Nenek ingin memberimu sesuatu,” ujarnya sambil merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop dari dalamnya.
“Nenek sudah menyelidiki gadis itu sampai tuntas dan kau boleh berlega karena ia gadis baik-baik tanpa cela. Aku sudah membacanya sekilas. Menurutku ia adalah kandidat yang baik untuk menjadi calon istrimu. Kau beruntung,” ujar Nathan dengan tulus. Ia memegang amplop itu dengan kedua tangannya dan menyodorkannya kepada Lucas.
“Dia hanya pernah punya satu kekasih. Mereka sudah hampir menikah tapi karena satu dan lain hal mereka putus beberapa bulan yang lalu. Kau tidak perlu kuatir. Pria itu sudah menikah dan istrinya saat ini sedang mengandung.”
Lucas memandang Nathan tak percaya. Neneknya menyelidiki Peyton diam-diam dan Nathan datang untuk mengantarkan hasilnya kepadanya. Hanya karena mereka berbagi nama belakang yang sama, tidak berarti mereka berhak menganggu hidupnya lagi. Tidak untuk selamanya.
Lucas menekan kedua tangannya ke atas sofa kuat-kuat, mencoba untuk memaku keinginannya untuk memukul Nathan saat itu juga.
Nathan membalas tatapan tajam Lucas dan berusaha untuk tetap tenang. Lucas tidak sedikitpun melirik ke arah amplop yang disodorkannya itu. Seperti dugaannya sebelumnya Lucas membenci apa yang dilakukan neneknya. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap tenang dan meletakkan amplop itu ke atas meja. “Sebaiknya aku pergi. Haley sedang menungguku dan …”
“Luke, apa kau su…” Peyton menghentikan langkahnya yang baru saja melewati ambang pintu ruang kerja Lucas saat ia melihat Lucas duduk bersama seorang pria yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Lucas menoleh ke arah Peyton. Ia segera berdiri dan bergegas menghampirinya.
Nathan mengamati Peyton lekat-lekat. Wanita itu lebih cantik dari apa yang ia kira, jauh lebih menarik dari Lauren dan yang terpenting dari semuanya adalah ia tidak cacat. Neneknya pasti menyukainya. Hatinya terasa lega, ia tidak perlu lagi melihat perselisihan antara Lucas dan neneknya hanya karena seorang wanita.
“Kau tidurlah dulu, aku akan menyusul beberapa saat lagi,” ujar Lucas dengan lembut. Tubuhnya menghalangi Peyton dari pandangan Nathan.
“Siapa dia?” Peyton memiringkan wajahnya ke samping.
“Aku akan menceritakan semuanya nanti tapi saat ini bukan saat yang tepat,” ujar Lucas sambil membalikkan tubuh Peyton ke arah pintu.
“Baiklah, aku tidur dulu. Jangan lupa bangunkan aku kalau aku besok kesiangan,” ujar Peyton dengan penuh pengertian. Lucas mengangguk. Peyton melirik Nathan sekilas lalu melangkah menuju pintu.
“Lucas, bagaimana kalau kauperkenalkan dia terlebih dahulu kepadaku? Nathan menghampiri Lucas dengan langkah-langkah lebar. Lucas menoleh ke arah Nathan dengan tatapan sedingin es. Tangannya terkepal kuat-kuat.
Nathan berjalan mendekati Peyton. Sepenuhnya mengacuhkan peringatan yang terpancar di mata Lucas dan mengulurkan tangannya ke arah Peyton.
“Nathan Scott,” ujarnya dengan ramah.
“Peyton Sawyer,” Peyton menjabat tangan Nathan. “Senang dapat berjumpa denganmu,” ujarnya dengan tulus. Sudah menjadi hasrat tersendiri baginya untuk dapat berjumpa dengan semua orang yang ada di dalam novel pertama Lucas selama ini.
“Miss Sawyer, sudah lama kudengar tentang dirimu dan hari ini aku beruntung dapat berjumpa denganmu di sini,” ujar Nathan dengan tulus.
Peyton tersenyum lebar. “Aku sungguh berharap dapat berjumpa dengan Haley dan Jamie kelak.”
“Haley dan Jamie?” Nathan melirik Lucas sekilas. Peyton mengangguk dengan semangat.
Nathan tertawa kecil. “Aku akan memperkenalkan mereka kepadamu di pesta ulang tahun perusahaan nanti. Nenek kami sangat mengharapkan kedatanganmu di pesta itu. Datanglah,” ujar Nathan dengan ramah.
Peyton tersenyum lebar. “Suatu kegembiraan bagiku un…”
“Ia hanyalah seorang wanita yang bekerja padaku. Untuk apa aku membawanya ke pesta itu? Apa hubungannya?” Lucas menyela Peyton dengan nada sedingin es. Matanya tertuju kepada Nathan dengan penuh emosi.
Peyton memandang Lucas dengan penuh keheranan. “Luke?” ujarnya dengan suara lirih.
Nathan mengacuhkan Lucas sepenuhnya. “Sampai jumpa di pesta nanti, Miss Sawyer,” ujarnya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya ke arah sofa. Langkahnya baru saja terayun saat gelegar suara Lucas memaksanya untuk berhenti
“Karena itukah kau datang kemari? Nenek menyuruhmu untuk memata-matai Peyton?” tanya Lucas dengan penuh emosi. Dengan langkah lebar ia menghampiri Nathan. Peyton mengikuti di belakangnya dengan cemas.
“Luke, aku melakukan semua ini untuk kebaikanmu. Aku harap kau bisa mengerti.” Nathan membalikkan tubuhnya dan menghadap Lucas sepenuhnya. Posisinya hanya berjarak satu pukulan di hadapan Lucas. Satu pukulan saja, ia mungkin tidak akan dapat menangkisnya.
Brookemengambil ancang-ancang saat lift itu tiba di lantai 9. Tangannya terkepal dengan posisi siap meninju. Pintu lift perlahan terbuka. Ia meletakkan kakinya di antara pintu lift dan bergegas masuk ke dalamnya. Hatinya diliputi kekecewaaan saat mendapati dua pria tampan berdiri di hadapannya. Tidak ada pria berjenggot tebal yang dilihatnya tadi.
Brooke mengumpat dengan keras. Pria sialan itu ternyata lebih pandai dari dugaannya. Dengan kesal ia menekan tombol 1. Berharap ia masih bisa memergoki pria itu di bawah.
Beberapa kali ia menarik napasnya dengan kesal. Wajahnya yang dilingkupi api amarah membuat Tom yang sejak tadi mencuri pandang ke arahnya merasakan bulu kuduknya berdiri.
Oliver mengamati Brooke lekat-lekat. Ia kemudian menyiku Tom sambil menyeringai.
“Wow,” ujarnya tanpa suara. Tom melemparkan tatapan menegur kepadanya.
“Maaf, apa tadi kalian melihat seorang pria berjenggot tebal dengan pakaian seperti seorang pembersih jendela?” Brooke berbalik tiba-tiba ke arah mereka. Tom tersentak kaget. Mulutnya terbuka lebar sambil menatap Brooke dengan pandangan terpana. Brooke membalas tatapannya dengan kening berkerut. Untuk sepersekian detik kecurigaan muncul di hatinya.
“Tidak, sejak tadi kami masuk dari lantai 12. Tidak ada siapapun,” ujar Oliver mengambil alih dengan cepat.
Brooke menoleh ke arahnya. “Kalian masuk di lantai 12?”
Oliver mengangguk sambil tersenyum. “Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Aku sedang mencari seorang pria sialan yang baru saja … ,” Brooke menghentikan ucapannya lalu memejamkan matanya, menyadari ia hampir saja berbagi apa yang baru dialaminya dengan dua pria asing. “Pria sialan yang akau kuhajar sampai habis bila aku melihatnya lagi,” ujarnya berusaha menahan kesabarannya.
Pintu lift berdenting. Brooke keluar dari lift lalu berlari menuju pintu gedung.
Oliver terbahak keras. “Dude, kaulihat betapa marahnya wanita itu?”
Tom mengangguk. “Aku rasa aku sudah menemukan petualanganku selanjutnya.” Seringai tipis muncul di wajahnya yang tampan. Niatnya untuk meminta maaf ternoda oleh jiwa petualangannya yang terpacu oleh adrinalinnya yang sejak tadi terus meningkat. “Catch me if you can.”
***
Kening Lucas berkerut. Ia baru saja mendengar bunyi bel untuk kedua kalinya. Jarum pendek jam pada jam dinding yang ada di hadapannya berada di antara angka 9 dan 10. Selain Julian dan Peyton tidak pernah ada yang datang bertamu malam-malam. Peyton sedang mandi di kamarnya dan Julian mungkin saat ini sudah tiba di Miami. Ia pergi untuk menemui orang tua kekasihnya. Tidak ada yang seharusnya datang semalam ini.
Lucas berdiri dari bangkunya dan melangkah cepat-cepat menuju pintu depan. Pikirannya dipenuhi oleh perkiraan siapa yang datang berkunjung semalam itu. Pikirannya masih berusaha menebak-nebak siapa yang datang semalam itu.
Lucas tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat ia melihat Nathan berdiri di depan apartemennya. Nathan belum pernah datang ke apartemennya selama ini. Hubungan mereka sama sekali tidak dekat dan ia tidak pernah sekalipun mengharapkan kedatangannya. Sekarang ia datang tiba-tiba sama sekali di luar dugaannya.
“Masuklah,” ujar Lucas setelah berdebat dengan keinginannya untuk mengusir Nathan untuk beberapa saat. Keengganan tergambar jelas di nada suaranya yang dingin. Nathan mengangguk tipis lalu memasuki ruang tamu. Pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di apartemen Lucas dan seperti dugaannya selama ini kedatangannya tidak mendapat sambutan.
“Sebaiknya kita berbincang-bincang di ruang tengah,” ujar Lucas mengajak Nathan memasuki ke ruang tengah.
“Ada apa?” tanya Lucas sesaat setelah Nathan menempatkan dirinya di atas sofa. Nathan menatap Lucas sambil menarik napas dalam-dalam. Bukan hal yang mudah baginya untuk berhadapan dengan Lucas selama ini. Lucas tidak pernah menyukainya sejak kecil dan tak pernah berusaha menyembunyikannya sedikitpun.
“Nenek menyuruhku datang untuk memberitahumu bahwa ia sangat mengharapkan kedatanganmu di pesta ulang tahun perusahaan dan ia juga berharap kau membawa serta wanita yang sering terlihat bersamamu akhir-akhir ini,” ujar Nathan sambil melirik sekilas ke arah perapian yang sedang menyala.
Lucas mengerutkan keningnya. Ia tidak pernah menceritakan tentang Peyton kepada siapapun di keluarganya, tidak juga kepada Haley dan Julian tidak mungkin memberitahu hal itu kepada mereka.
Nathan tersenyum tipis saat melihat kebingungan yang terpancar di wajah Lucas. “Mr Lee yang menceritakan soal wanita itu kepada Nenek. Dia bilang dia sering melihatmu makan malam bersama wanita itu ke restoran Perancis yang sering didatanginya. Kau tahu betapa penjilatnya dia, karena itu kau seharusnya sudah bisa menebak Nenek pasti akan segera mengetahui tentang hubunganmu dengan wanita itu saat kau berjumpa dengannya.”
Lucas memejamkan matanya dengan kesal. Sudah seharusnya ia menduganya lebih cepat. Mr Lee menghampirinya setelah memergokinya berciuman dengan Peyton. Tidak mungkin pria tua itu tidak mengadukannya kepada neneknya.
“Sekedar untuk kau ketahui, aku juga tidak menyukai pria penjilat itu,” ujar Nathan bersimpati.
Lucas memandang Nathan dengan tajam lalu mengangguk tipis. “Seharusnya aku sudah dapat menduganya. Mr Lee selalu membesar-besarkan segalanya. Apa yang dikatakannya sama sekali tidak benar.”
Nathan mengangguk setuju. “Ohya, Nenek ingin memberimu sesuatu,” ujarnya sambil merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop dari dalamnya.
“Nenek sudah menyelidiki gadis itu sampai tuntas dan kau boleh berlega karena ia gadis baik-baik tanpa cela. Aku sudah membacanya sekilas. Menurutku ia adalah kandidat yang baik untuk menjadi calon istrimu. Kau beruntung,” ujar Nathan dengan tulus. Ia memegang amplop itu dengan kedua tangannya dan menyodorkannya kepada Lucas.
“Dia hanya pernah punya satu kekasih. Mereka sudah hampir menikah tapi karena satu dan lain hal mereka putus beberapa bulan yang lalu. Kau tidak perlu kuatir. Pria itu sudah menikah dan istrinya saat ini sedang mengandung.”
Lucas memandang Nathan tak percaya. Neneknya menyelidiki Peyton diam-diam dan Nathan datang untuk mengantarkan hasilnya kepadanya. Hanya karena mereka berbagi nama belakang yang sama, tidak berarti mereka berhak menganggu hidupnya lagi. Tidak untuk selamanya.
Lucas menekan kedua tangannya ke atas sofa kuat-kuat, mencoba untuk memaku keinginannya untuk memukul Nathan saat itu juga.
Nathan membalas tatapan tajam Lucas dan berusaha untuk tetap tenang. Lucas tidak sedikitpun melirik ke arah amplop yang disodorkannya itu. Seperti dugaannya sebelumnya Lucas membenci apa yang dilakukan neneknya. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap tenang dan meletakkan amplop itu ke atas meja. “Sebaiknya aku pergi. Haley sedang menungguku dan …”
“Luke, apa kau su…” Peyton menghentikan langkahnya yang baru saja melewati ambang pintu ruang kerja Lucas saat ia melihat Lucas duduk bersama seorang pria yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Lucas menoleh ke arah Peyton. Ia segera berdiri dan bergegas menghampirinya.
Nathan mengamati Peyton lekat-lekat. Wanita itu lebih cantik dari apa yang ia kira, jauh lebih menarik dari Lauren dan yang terpenting dari semuanya adalah ia tidak cacat. Neneknya pasti menyukainya. Hatinya terasa lega, ia tidak perlu lagi melihat perselisihan antara Lucas dan neneknya hanya karena seorang wanita.
“Kau tidurlah dulu, aku akan menyusul beberapa saat lagi,” ujar Lucas dengan lembut. Tubuhnya menghalangi Peyton dari pandangan Nathan.
“Siapa dia?” Peyton memiringkan wajahnya ke samping.
“Aku akan menceritakan semuanya nanti tapi saat ini bukan saat yang tepat,” ujar Lucas sambil membalikkan tubuh Peyton ke arah pintu.
“Baiklah, aku tidur dulu. Jangan lupa bangunkan aku kalau aku besok kesiangan,” ujar Peyton dengan penuh pengertian. Lucas mengangguk. Peyton melirik Nathan sekilas lalu melangkah menuju pintu.
“Lucas, bagaimana kalau kauperkenalkan dia terlebih dahulu kepadaku? Nathan menghampiri Lucas dengan langkah-langkah lebar. Lucas menoleh ke arah Nathan dengan tatapan sedingin es. Tangannya terkepal kuat-kuat.
Nathan berjalan mendekati Peyton. Sepenuhnya mengacuhkan peringatan yang terpancar di mata Lucas dan mengulurkan tangannya ke arah Peyton.
“Nathan Scott,” ujarnya dengan ramah.
“Peyton Sawyer,” Peyton menjabat tangan Nathan. “Senang dapat berjumpa denganmu,” ujarnya dengan tulus. Sudah menjadi hasrat tersendiri baginya untuk dapat berjumpa dengan semua orang yang ada di dalam novel pertama Lucas selama ini.
“Miss Sawyer, sudah lama kudengar tentang dirimu dan hari ini aku beruntung dapat berjumpa denganmu di sini,” ujar Nathan dengan tulus.
Peyton tersenyum lebar. “Aku sungguh berharap dapat berjumpa dengan Haley dan Jamie kelak.”
“Haley dan Jamie?” Nathan melirik Lucas sekilas. Peyton mengangguk dengan semangat.
Nathan tertawa kecil. “Aku akan memperkenalkan mereka kepadamu di pesta ulang tahun perusahaan nanti. Nenek kami sangat mengharapkan kedatanganmu di pesta itu. Datanglah,” ujar Nathan dengan ramah.
Peyton tersenyum lebar. “Suatu kegembiraan bagiku un…”
“Ia hanyalah seorang wanita yang bekerja padaku. Untuk apa aku membawanya ke pesta itu? Apa hubungannya?” Lucas menyela Peyton dengan nada sedingin es. Matanya tertuju kepada Nathan dengan penuh emosi.
Peyton memandang Lucas dengan penuh keheranan. “Luke?” ujarnya dengan suara lirih.
Nathan mengacuhkan Lucas sepenuhnya. “Sampai jumpa di pesta nanti, Miss Sawyer,” ujarnya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya ke arah sofa. Langkahnya baru saja terayun saat gelegar suara Lucas memaksanya untuk berhenti
“Karena itukah kau datang kemari? Nenek menyuruhmu untuk memata-matai Peyton?” tanya Lucas dengan penuh emosi. Dengan langkah lebar ia menghampiri Nathan. Peyton mengikuti di belakangnya dengan cemas.
“Luke, aku melakukan semua ini untuk kebaikanmu. Aku harap kau bisa mengerti.” Nathan membalikkan tubuhnya dan menghadap Lucas sepenuhnya. Posisinya hanya berjarak satu pukulan di hadapan Lucas. Satu pukulan saja, ia mungkin tidak akan dapat menangkisnya.
Last edited by didar on 10th September 2009, 4:32 pm; edited 1 time in total
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
fuih... sori beberapa hr ini g cek di email nggak ada update dr nih forum, taunya td g liat masuk spam. cape deh...
haha.. g suka tuh bagian brooke ama tom. n wah g suka tuh oliver dia kocak banget sih bilang tom pengintip. wakakka... oliver nih yg mana sih ? g nggak tau orgnya cuma dia kocak abis, mknya g suka. haha...
g tadinya kira elo tega banget bikin tom penuh jenggot n kumis, taunya palsu toh. haha
bagian nathan, ini neneknya yg mamanya dan itu yah ?
haha.. g suka tuh bagian brooke ama tom. n wah g suka tuh oliver dia kocak banget sih bilang tom pengintip. wakakka... oliver nih yg mana sih ? g nggak tau orgnya cuma dia kocak abis, mknya g suka. haha...
g tadinya kira elo tega banget bikin tom penuh jenggot n kumis, taunya palsu toh. haha
bagian nathan, ini neneknya yg mamanya dan itu yah ?
Re: New Beginnings - Chapter 22
No no.. ga ada Dan di sini... amit deh.. baru ngebayangin mukanya aja gw udah pengen muntah.. haha..
Lucas ama Nathan punya papa yang laen.. yang gw lum mikirin seh namanya sapa.. hehe.. so ini juga neneknya beda lagi.. gw bayangin sendiri lagi.. hehe..
yup.. the peeping Tom.. itu kan julukan buat pengintip .. emang cocok banget ya.. wkakaka..
oliver tuh ini..
Lucas ama Nathan punya papa yang laen.. yang gw lum mikirin seh namanya sapa.. hehe.. so ini juga neneknya beda lagi.. gw bayangin sendiri lagi.. hehe..
yup.. the peeping Tom.. itu kan julukan buat pengintip .. emang cocok banget ya.. wkakaka..
oliver tuh ini..
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
aww.. si ganteng.. itu yg di smallville kan ? duh g suka ama dia. ahaha
btw, elo kan suka ama rufus, rufus aja jd bapaknya lucas n nathan. hahahah
btw, elo kan suka ama rufus, rufus aja jd bapaknya lucas n nathan. hahahah
Re: New Beginnings - Chapter 22
haha.. kebetulan ceritanya papanya Lucas ama Nathan di sini udah meninggal.. tapi gw suka ide elo.. tapi rufus kemudaan neh.. gpp seh.. dia aja deh yang gw bayangin..
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
kalo g malah kagak demen ama rufus, tp gpp deh kalo jd papa yg udah meninggal. hehehehe
btw, kapan neh lanjutannya ? heheh
btw, kapan neh lanjutannya ? heheh
Re: New Beginnings - Chapter 22
tuh.. udah gw post..
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
g dah baca. tdnya binun nyari lanjutannya. hehehe...
jd si lucas ama nathan sm kyk di oth yah... bedanya yg lbh belagu si lucas di sini. wakkaka
bener nggak ? apa nathan jg belagu ? abis blm keliatan sih n pas baca dia ama neneknya dia keliatan kyk anak baik. hehhehe
jd si lucas ama nathan sm kyk di oth yah... bedanya yg lbh belagu si lucas di sini. wakkaka
bener nggak ? apa nathan jg belagu ? abis blm keliatan sih n pas baca dia ama neneknya dia keliatan kyk anak baik. hehhehe
Re: New Beginnings - Chapter 22
yup.. yup.. ga salah kok.. Nathan di sini jauh lebih baek.. kalo Lucas dia terlalu banyak kepaitan.. en yup.. dia agak belagu.. tapi cuma ama orang yang dia ga suka.. haha..
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
udah gw sambung lagi di di bawah 2 part sebelumnya.. part 3 ama part 4..
udah gw perbaiki bagian brooke-tom cepet2.. en belum gw baca lagi bagus atau ngga hasilnya..
bab ini lum selesei sebenernya... en kyknya gw ga akan masukin dulu perbincangan Nathan ama neneknya.. ntar mungkin kalo gw edit lagi secara keseluruhan.. gw masukin bagian itu.. padahal bab itu penting seh.. buat nunjukin kalo neneknya juga sebenernya sayang banget ama Lucas.. trus juga buat nunjukin Nathan tuh lebih ngertiin neneknya dibanding Lucas.. en gw ntar mau nyelesaiin masalah keluarga ini.. ga pengen Lucas trus2an benci ama keluarganya.. pokonya Lucas harus jadi orang yang akhirnya bisa ngelepasin masa lalunya... so masih panjang ... mungkin endingnya ga jadi 35.. tapi 40.. wahhhh.. apalagi ada bagian brooke-tom-kevin.. belum lagi tadinya gw dah nulis bagian Chun-Ariel.. yang tadinya mau gw munculin di bab ini..
soal timeline... hmm.. ini udah sekitar 3 bulan lebih dari semenjak kepergian Jensen.. en ternyata gw ga bisa bikin cerita terlalu padet.. pesta itu aja gw masih bingung mau 2 atau 3 minggu lagi... so Jensen bisa pergi selama 5 bulan paling sedikit.... kelamaan ya.. gw rasa gw harus mendekin waktunya lagi... jangan dua bulan berlalu dari kehidupan Peyton.. tapi sebulan aja.. berarti ada sesuatu yang bikin brooke en kevin putus di tengah jalan.. en Brooke dah ketemu Tom.. wahhh.. gw pusing deh kalo terlalu banyak cinta segitiga...
udah gw perbaiki bagian brooke-tom cepet2.. en belum gw baca lagi bagus atau ngga hasilnya..
bab ini lum selesei sebenernya... en kyknya gw ga akan masukin dulu perbincangan Nathan ama neneknya.. ntar mungkin kalo gw edit lagi secara keseluruhan.. gw masukin bagian itu.. padahal bab itu penting seh.. buat nunjukin kalo neneknya juga sebenernya sayang banget ama Lucas.. trus juga buat nunjukin Nathan tuh lebih ngertiin neneknya dibanding Lucas.. en gw ntar mau nyelesaiin masalah keluarga ini.. ga pengen Lucas trus2an benci ama keluarganya.. pokonya Lucas harus jadi orang yang akhirnya bisa ngelepasin masa lalunya... so masih panjang ... mungkin endingnya ga jadi 35.. tapi 40.. wahhhh.. apalagi ada bagian brooke-tom-kevin.. belum lagi tadinya gw dah nulis bagian Chun-Ariel.. yang tadinya mau gw munculin di bab ini..
soal timeline... hmm.. ini udah sekitar 3 bulan lebih dari semenjak kepergian Jensen.. en ternyata gw ga bisa bikin cerita terlalu padet.. pesta itu aja gw masih bingung mau 2 atau 3 minggu lagi... so Jensen bisa pergi selama 5 bulan paling sedikit.... kelamaan ya.. gw rasa gw harus mendekin waktunya lagi... jangan dua bulan berlalu dari kehidupan Peyton.. tapi sebulan aja.. berarti ada sesuatu yang bikin brooke en kevin putus di tengah jalan.. en Brooke dah ketemu Tom.. wahhh.. gw pusing deh kalo terlalu banyak cinta segitiga...
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
aduh... sumpah g suka banget bagian tom ama oliver, meski cuma dikit. abis mrk tuh kocak banget. hehehhee...
wuih... petualangannya yah ? jd pembersih kaca jg petualangan yg menyenangkan kalo bs ngintip. hehehhe
oww.. jd pesta itu tuh pesta keluarga itu yah ? g pensaran apa yg bakal terjadi di pesta itu.
wuih... petualangannya yah ? jd pembersih kaca jg petualangan yg menyenangkan kalo bs ngintip. hehehhe
oww.. jd pesta itu tuh pesta keluarga itu yah ? g pensaran apa yg bakal terjadi di pesta itu.
Re: New Beginnings - Chapter 22
emang mereka lucu ya?
maksud tom tuh petualangannya tuh kejar2an nya ama brooke nanti.. haha.. en dia tuh sebenernya bukan pembersih jendela.. dia cuma orang yang kurang kerjaan... haha..
yup.. ada sesuatu yang terjadi di pesta keluarga nanti.. en yeah..
gw sambung sedikit lagi di bawah ya.. so bab ini selesai.. yay!!!!
maksud tom tuh petualangannya tuh kejar2an nya ama brooke nanti.. haha.. en dia tuh sebenernya bukan pembersih jendela.. dia cuma orang yang kurang kerjaan... haha..
yup.. ada sesuatu yang terjadi di pesta keluarga nanti.. en yeah..
gw sambung sedikit lagi di bawah ya.. so bab ini selesai.. yay!!!!
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
Lucas mencengkeram kerah Nathan kuat-kuat. “Bukan urusanmu bagaimana aku menjalankan hidupku dan bisakah kau berhenti melakukan segala sesuatunya untuk Nenek,” desisnya penuh amarah.
“Luke, dia nenekmu juga,” ujar Nathan dengan kening berkerut.
Tinju Lucas menghantam Nathan dengan keras hingga Nathan jatuh terbanting ke atas karpet dengan pandangan berkunang-kunang.
“Luke!” teriak Peyton dengan nada panik. Dengan sigap ia memeluk Lucas dari belakang dan menahannya tetap di tempatnya.
Nathan menegakkan tubuhnya perlahan-lahan sambil mengusap darah yang mengalir di mulutnya. Senyum sinis menghiasi bibirnya yang tergores.“Mungkin bagimu Nenek tidak berarti apapun. Tapi bagiku ia berarti segalanya. Ia yang membesarkanku, Luke. Di saat ibuku mabuk-mabukan setiap hari karena ayah menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama ibumu. Dia yang selalu berada di sampingku dan memberiku kasih sayang yang tidak pernah aku terima dari siapapun,” ujar Nathan dengan nada frustasi. Ia membuka ikatan dasinya yang sudah tak beraturan dan melepaskan dengan cepat.
“Walau kau mungkin sulit mempercayainya, tapi bagaimanapun aku harus memberitahumu hal ini, Nenek sangat menyayangimu,” ujarnya dengan nada lelah. Berapa kalipun ia menjelaskan hal itu, Lucas tidak pernah mau menerimanya. Ini adalah pukulan kedua yang diterimanya dari Lucas karena masalah wanita dan ia sudah cukup bersabar dengannya.
“Hentikan omong kosongmu dan keluar dari sini sebelum aku menghajarmu lagi,” bentak Lucas dengan penuh kebencian. Nathan selalu berusaha meyakinkannya akan segala kebohongan itu dan ia sangat membencinya karena itu.
Peyton menahan tubuh Lucas sekuat tenaga. Tubuhnya ikut bergeser saat Lucas melangkah maju namun ia tetap bertahan sekuat tenaga. Nathan melangkah keluar tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi. Suara pintu berdebam keras menghantarkan kesunyian yang tersisa dari pertengkaran itu. Peyton dengan cepat melepaskan kedua tangannya yang masih terkait di tubuh Lucas dan beranjak dari sana dengan langkah lebar.
“Peyton,” teriak Lucas.
“Aku hanya wanita yang bekerja padamu. Jam kerjaku sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu dan aku seharusnya sudah pulang sejak tadi,” ujar Peyton dengan penuh kekecewaan, memikirkan hanya itulah arti dirinya bagi Lucas.
Dengan sigap Lucas meraih tangan Peyton dan menahannya. “Peyton.”
“Itukah aku bagimu?” Peyton berusaha sekuat tenaga melepaskan pegangan Lucas di tangannya namun usahanya sama sekali tidak mendatangkan hasil.
“Peyton, dengarkan aku.” Lucas memandang Peyton dengan tajam. “Aku mohon dengarkan aku.”
“Karena itukah kau tidak pernah memperkenalkan aku sebagai kekasihmu?” Karena kau malu padaku? Karena kau.. “ suara Peyton terhenti saat Lucas tiba-tiba menutup mulutnya dengan bibirnya dan menciumnya dengan lembut. Peyton mendorong tubuh Lucas sekuat tenaga. Lucas tidak bergeming tapi ia menghentikan ciumannya. Ia memegang kedua pipi Peyton dan menahan wajahnya agar pandangannya tetap terarah padanya.
“Dengarkan aku dulu,” ujarnya dengan tegas.
“Aku tidak mau seorangpun tahu kau adalah kekasihku karena aku tidak mau nenekku tahu,” ujar Lucas dalam satu tarikan napas.
“Kau tahu apa yang dilakukannya saat ia mengetahui tentang dirimu,” Lucas melepaskan sebelah tangannya dan menunjuk ke arah pintu.
“Ia menyewa detektif dan menyelidiki seluruh hidupmu. Ia menilaimu. Jika kau tidak memenuhi syarat, ia akan mencoba segala cara untuk membuatmu pergi dariku,” ujar Lucas dengan geram.
“Aku tidak mau tahu pendapat siapapun. Hanya satu yang aku tahu … aku tidak mau kehilanganmu,” Lucas menurunkan tangannya dari kedua pipi Peyton dan beralih ke pinggangnya yang ramping. Ia lalu menarik Peyton ke dalam pelukannya dengan lembut.
Peyton menatap Lucas dengan penuh haru. “Oh Luke,” bisiknya hampir tak bersuara. Tangannya menangkup kedua pipi Lucas dengan lembut dan menarik wajah Lucas ke arahnya hingga bibir mereka bertemu. Lucas memeluk menarik pinggang Peyton merapat ke arahnya dan membalas ciuman Peyton dengan sepenuh hati.
“Luke, dia nenekmu juga,” ujar Nathan dengan kening berkerut.
Tinju Lucas menghantam Nathan dengan keras hingga Nathan jatuh terbanting ke atas karpet dengan pandangan berkunang-kunang.
“Luke!” teriak Peyton dengan nada panik. Dengan sigap ia memeluk Lucas dari belakang dan menahannya tetap di tempatnya.
Nathan menegakkan tubuhnya perlahan-lahan sambil mengusap darah yang mengalir di mulutnya. Senyum sinis menghiasi bibirnya yang tergores.“Mungkin bagimu Nenek tidak berarti apapun. Tapi bagiku ia berarti segalanya. Ia yang membesarkanku, Luke. Di saat ibuku mabuk-mabukan setiap hari karena ayah menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama ibumu. Dia yang selalu berada di sampingku dan memberiku kasih sayang yang tidak pernah aku terima dari siapapun,” ujar Nathan dengan nada frustasi. Ia membuka ikatan dasinya yang sudah tak beraturan dan melepaskan dengan cepat.
“Walau kau mungkin sulit mempercayainya, tapi bagaimanapun aku harus memberitahumu hal ini, Nenek sangat menyayangimu,” ujarnya dengan nada lelah. Berapa kalipun ia menjelaskan hal itu, Lucas tidak pernah mau menerimanya. Ini adalah pukulan kedua yang diterimanya dari Lucas karena masalah wanita dan ia sudah cukup bersabar dengannya.
“Hentikan omong kosongmu dan keluar dari sini sebelum aku menghajarmu lagi,” bentak Lucas dengan penuh kebencian. Nathan selalu berusaha meyakinkannya akan segala kebohongan itu dan ia sangat membencinya karena itu.
Peyton menahan tubuh Lucas sekuat tenaga. Tubuhnya ikut bergeser saat Lucas melangkah maju namun ia tetap bertahan sekuat tenaga. Nathan melangkah keluar tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi. Suara pintu berdebam keras menghantarkan kesunyian yang tersisa dari pertengkaran itu. Peyton dengan cepat melepaskan kedua tangannya yang masih terkait di tubuh Lucas dan beranjak dari sana dengan langkah lebar.
“Peyton,” teriak Lucas.
“Aku hanya wanita yang bekerja padamu. Jam kerjaku sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu dan aku seharusnya sudah pulang sejak tadi,” ujar Peyton dengan penuh kekecewaan, memikirkan hanya itulah arti dirinya bagi Lucas.
Dengan sigap Lucas meraih tangan Peyton dan menahannya. “Peyton.”
“Itukah aku bagimu?” Peyton berusaha sekuat tenaga melepaskan pegangan Lucas di tangannya namun usahanya sama sekali tidak mendatangkan hasil.
“Peyton, dengarkan aku.” Lucas memandang Peyton dengan tajam. “Aku mohon dengarkan aku.”
“Karena itukah kau tidak pernah memperkenalkan aku sebagai kekasihmu?” Karena kau malu padaku? Karena kau.. “ suara Peyton terhenti saat Lucas tiba-tiba menutup mulutnya dengan bibirnya dan menciumnya dengan lembut. Peyton mendorong tubuh Lucas sekuat tenaga. Lucas tidak bergeming tapi ia menghentikan ciumannya. Ia memegang kedua pipi Peyton dan menahan wajahnya agar pandangannya tetap terarah padanya.
“Dengarkan aku dulu,” ujarnya dengan tegas.
“Aku tidak mau seorangpun tahu kau adalah kekasihku karena aku tidak mau nenekku tahu,” ujar Lucas dalam satu tarikan napas.
“Kau tahu apa yang dilakukannya saat ia mengetahui tentang dirimu,” Lucas melepaskan sebelah tangannya dan menunjuk ke arah pintu.
“Ia menyewa detektif dan menyelidiki seluruh hidupmu. Ia menilaimu. Jika kau tidak memenuhi syarat, ia akan mencoba segala cara untuk membuatmu pergi dariku,” ujar Lucas dengan geram.
“Aku tidak mau tahu pendapat siapapun. Hanya satu yang aku tahu … aku tidak mau kehilanganmu,” Lucas menurunkan tangannya dari kedua pipi Peyton dan beralih ke pinggangnya yang ramping. Ia lalu menarik Peyton ke dalam pelukannya dengan lembut.
Peyton menatap Lucas dengan penuh haru. “Oh Luke,” bisiknya hampir tak bersuara. Tangannya menangkup kedua pipi Lucas dengan lembut dan menarik wajah Lucas ke arahnya hingga bibir mereka bertemu. Lucas memeluk menarik pinggang Peyton merapat ke arahnya dan membalas ciuman Peyton dengan sepenuh hati.
didar- FF super addicted
- Posts : 255
Join date : 2009-07-09
Re: New Beginnings - Chapter 22
ini lanjutannya yah ? pantes dikit amat. heheheh
doh.. nathan kasian amat, tp kok dia nggak bales mukul yah ?
doh.. nathan kasian amat, tp kok dia nggak bales mukul yah ?
Similar topics
» New Beginnings - Chapter 09
» New Beginnings - Chapter 23
» New Beginnings - Chapter 06
» New Beginnings - Chapter 10
» New Beginnings - Chapter 05
» New Beginnings - Chapter 23
» New Beginnings - Chapter 06
» New Beginnings - Chapter 10
» New Beginnings - Chapter 05
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
|
|